Memahami Perbedaan Awal Ramadhan dan Hari Raya Perspektif Fiqih Siyasah
Memahami Perbedaan Awal Ramadhan dan Hari Raya Perspektif Fiqih Siyasah
Tahun 2025 ini polemik perbedaan awal ramadhan dan hari raya idul fitri di beberapa negara berpenduduk muslim, sangat menarik untuk dicermati dan mengundang rasa penasaran kita semua. Beberapa negeri muslim seperti Indonesia, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania, Suriah, Sudan dll mengawali ramadhan pada hari sabtu 1 Maret. Sedangkan Malaysia, Brunei, Pakistan, Maroko, Iran, Irak dll mengawali ramadhan pada hari ahad 2 Maret. Demikian pula penetapan 1 syawwal mengalami perbedaan, sebagian negeri muslim semisal Arab Saudi, Uni Emirat, Turki, Yaman dll hingga berjumlah 11 negara muslim rayakan Idul Fitri pada ahad 30 Maret, sedangkan Indonesia, Mesir, Yordania, Suriah dll hingga berjumlah 13 negara muslim lainnya rayakan Idul Fitri pada senin 31 Maret.
Sebagian pihak mencoba menjelaskan alasan perbedaan ini menggunakan perspektif sains dan astronomis, yang berkesimpulan para ilmuwan perlu merumuskan kriteria dan perhitungan astronomis tertentu sehingga terjadi kesepakatan. Sebagian pihak yang lain, mencoba menjelaskan bahwa perbedaan ini disebabkan perbedaan madzhab dalam penentuan rukyat hilal antara rukyat lokal alias ikhtilâf al-mathâli’ dan rukyat global alias wahdah al-mathâli’. Namun penulis mencoba mengajukan perspektif baru dalam menyelesaikan polemik ini dengan menggunakan perspektif fiqih siyasah. Pasalnya, masalah perbedaan ini sudah berlangsung cukup lama dan terjadi semenjak dunia Islam terbagi menjadi puluhan negara bangsa yang memiliki perbatasan tertentu yang saling terpisah satu sama lain secara politik.
Berdasarkan kajian mendalam menggunakan perspektif fiqih siyasah, maka bisa dirumuskan beberapa poin penting sebagai berikut:
Pertama, beragam dalil yang bersifat mutawatir menjelaskan bahwa umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah belah terlebih masalah siyasah dan syi’ar Islam, kecuali dalam kasus ikhtilaf atau ijtihadi yang tidak berpengaruh terhadap persatuan umat Islam. Dalil masalah tersebut tersebar luas dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Kedua, hukum asalnya dunia Islam itu wajib bersatu dalam kepemimpinan politik tunggal, kecuali ada udzur syar’i yang darurat diluar kendali umat Islam. Semisal terpisah benua yang terisolasi atau terpisah oleh serangan militer penjajahan. Penulis Rahmah al-Ummah fi Ikhtilâf al-Aimmah (II/458) menegaskan:
الإمامة فرض لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين، لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في الدنيا إمامان لا متفقان و لا مفترقان
Imamah hukumnya fardhu, kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menjalankan seluruh ajaran agama. Tidak boleh bagi kaum muslimin pada waktu yang bersamaan di dunia ini memiliki dua orang imam, baik keduanya bersepakat maupun tidak.
Ketiga, penguasa muslim yang absah secara syar’i berhak menjadi rujukan dalam hasil akhir keputusan rukyat awal ramadhan dan hari raya, keputusannya wajib diterima seluruh umat Islam di belahan dunia manapun. Kecuali jika ada kendala atau terhambatnya komunikasi antar wilayah. Imam al-Maziri (w. 1141 M) rahimahullâh menjelaskan:
إذا ثبت الهلال عند الخليفة لزم سائر الأمصار الرجوع إلى ما عنده ... والفرق بين رؤية الخليفة وغيره أن سائر البلدان لمّا كانت بحكمه فهي كبلد واحد
Jika hilal telah terbukti oleh khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu … Sebab rukyat khalifah berbeda dengan rukyat dari selain khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45).
Keempat, berdasarkan pendekatan fiqih siyasah dan ushul fiqih, berpedoman pada rukyat hilal global atau wahdah al-mathâli’ merupakan pendapat yang rajih (terkuat) ketimbang rukyat lokal atau ikhtilâf al-mathâli’ alasannya sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan shaum dan hari raya senantiasa disandingkan dengan redaksi dalil rukyat hilal, yang dalam istilah ushul fiqih rukyat hilal merupakan hukum wadh’inya atau sabab syar’i pelaksanaan shaum dan hari raya. Ini artinya perhitungan astronomis bukanlah penentu awal ramadhan dan hari raya, namun hanya alat bantu.
(2) Seruan perintah dalam beragam dalil rukyat bersifat dan berlaku umum bagi seluruh umat Islam di mana pun berada dan tidak ada indikasi pembatasan, baik secara wilayah maupun lainnya. Misal:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Shaumlah kalian karena melihat hilal ramadhan, dan berhari rayalah kalian karena melihat hilal syawwal. Jika hilal tertutup awan, maka genapkanlah bilangan sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Al-Bukhari)
Wawu jama’ah yang diterjemahkan “kalian” dalam hadits tersebut, menunjukkan bahwa seluruh kaum muslimin di seluruh dunia wajib berpatokan pada rukyat hilal global. Karenanya imam al-Maziri menegaskan sebagaimana penjelasan poin kedua. Sebagai tambahan, imam ash-Shan’ani (w. 1768 M) rahimahullâh pun berkata:
فمعنى إذا رأيتموه أي إذا وجدت فيما بينكم الرؤية، فيدل هذا على أن رؤية بلد رؤية لجميع أهل البلاد فيلزم الحكم
Makna dari ungkapan hadits “jika kalian melihatnya” artinya apabila rukyat didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan rukyat pada suatu negeri berlaku bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib. (Subulus Salâm, II/310).
Kelima, berdasarkan tahqîq al-manâth (analisis fakta), implementasi rukyat lokal pada hari ini, kalau kita mau teliti sejatinya berbeda dengan implementasi rukyat lokal pada masa khilafah terdahulu. Hadits Kuraib yang dianggap sebagai dalil rukyat lokal pun, pada kenyataanya merupakan ijtihad Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu yang masih dalam konteks era khilafah, bukan era pasca runtuhnya khilafah. Lalu “penolakan” Ibnu ‘Abbas terhadap informasi hilal Kuraib pun, sebagian ulama anggap hanya karena saksi hilal dianggap kurang jika seorang Kuraib saja; sebagian ulama lain menganggap ijtihad Ibnu ‘Abbas dalam konteks hadits Kuraib bukan dalil, karena dalil itu hanya riwayat marfu dari sang perawi. Jadi hadits Kuraib yang dianggap mapan sebagian pihak sebagai dalil rukyat lokal, ternyata redaksinya menyimpan catatan kritis (zhanni dilâlah). Esensinya, hadits Kuraib merupakan peristiwa yang terjadi karena kendala jarak dan ketiadaan sarana komunikasi yang canggih pada era khilafah, sehingga munculah verifikasi sekaligus ijtihad Ibnu ‘Abbas tersebut. Andai pada era tersebut kendala jarak tidak ada atau sarana telekomunikasi sudah canggih, maka Ibnu ‘Abbas tidak mesti verifikasi dan berijtihad. Kalau dalam kajian ushul fiqih, ini mirip keberadaan mawâni yang menghalangi sebab pelaksanaan hukum taklifi. Jika kendala atau mawâni-nya bisa diatasi, maka kembali ke hukum asal, yakni satu rukyat berlaku global, hal ini sesuai hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar:
أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
“Kami terhalang melihat hilal Syawwal, sehingga pagi harinya tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kemarin telah melihat hilal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan mereka membatalkan puasa, kemudian besoknya semua berangkat melaksanakan shalat hari raya.” (HR. Ahmad, 19675; Ibnu Majah, 1643; dishahihkan Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm).
Keenam, berdasarkan penjelasan poin kelima, maka polemik ini bermuara pada problem fiqih siyasah di banyak negeri muslim, dengan indikasi penggunaan konsep mathla’ baru yang digagas sebagian pihak dengan istilah wilayatul hukmi, yang berkaitan dengan otoritas penentuan awal ramadhan dan hari raya berdasarkan batas pemerintahan nation state. Karena itu hadits Kuraib tadi tidak bisa menjadi dalil bagi konsep wilayatul hukmi. Sebab konsep ini menjadikan penguasa sebuah negara modern pasca runtuhnya khilafah utsmani, memiliki kewenangan menentukan awal ramadhan dan hari raya. Padahal penguasa yang berhak menentukan awal ramadhan dan hari raya adalah penguasa muslim yang berpegang teguh pada Islam dan bukan penguasa yang lebih mengutamakan kepentingan batas nation state-nya ketimbang persatuan umat Islam global. Dalam Tafsir al-Qurthubi ketika menjelaskan an-Nisa ayat 59 ada kutipan menarik dari Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullâh, beliau berkata:
أطيعوا السلطان في سبعة: ضرب الدراهم والدنانير، والمكاييل والأوزان، والأحكام والحج والجمعة والعيدين والجهاد
Taatilah penguasa Islam dalam tujuh hal: (1) Penetapan dinar dan dirham, (2) ukuran takaran dan satuan timbangan, (3) beragam peraturan, (4) ketentuan haji, (5) shalat jum'at, (6) penentuan dua hari raya dan (7) komando jihad.
Penguasa atau as-sulthan dalam kutipan di atas bisa dipahami memiliki beberapa kewenangan penting yang harus ditaati oleh rakyat atau umat Islam. Namun pertanyaannya siapakah penguasa atau as-sulthan yang wajib ditaati tersebut? Apakah penguasa ini bisa siapa saja dan menerapkan sembarang sistem, meski bukan sistem Islam?
Untuk menjawabnya, perlu dipahami bahwa istilah sulthan atau sinonimnya (imam dll) bisa ditemukan juga dalam beragam kitab fiqih di beberapa pembahasan, semisal di kitab shalat pada bab al-ahaqq bi al-imâmah (orang yang paling layak sebagai imam shalat) dan bab ash-shalâh 'ala al-mayyit (shalat jenazah); kitab zakat pada bab ikhrâj az-zakâh (masalah penyaluran zakat); kitab an-nikâh dalam bab al-wilâyah fi an-nikâh (masalah wali nikah); kitab al-buyû' pada bab at-tas'îr (masalah pematokan harga); kitab al-jihâd dalam bab syurûth al-jihâd (ketentuan jihad perang) dan bab qismah al-ghanîmah (pembagian harta rampasan perang); kitab al-jinâyât pada bab al-'afwu wa al-Qishash (pengampunan dan qishash); dan kitab al-qadhâ' pada bab 'azl al-qâdhi (pemberhentian qadhi). Jadi dalam fiqih, terlihat jelas penguasa atau sulthan ini mengurusi penerapan hukum Islam dalam segala bidang kehidupan, ini poin yang sangat penting untuk dipahami. Dan kutipan di atas yang dinyatakan Sahl bin Abdullah at-Tustari mengenai perkara yang perlu ditaati rakyat adalah sama dengan perkara yang dijelaskan dalam bab-bab fiqih. Itu artinya as-sulthan atau yang semakna dengannya dalam kutipan di atas hanya mengandung satu kemungkinan, yakni penguasa yang wajib ditaati adalah penguasa yang menerapkan Islam. Bukan penguasa yang tidak menerapkan Islam. Makanya wajar al-Qadhi 'Iyadh (w. 544 H) rahimahullâh dalam Ikmâl al-Mu'lim bi Fawâ’id Muslim (VI/240; IV/375) menegaskan:
لا خلاف في وجوبِ طاعةِ الأمراءِ فيما لا يخالفُ أمرَ اللَّهِ، وما لم يَأمُرْ بمعصيةٍ ... فيه ما يلزمُ من طاعةِ الأئمةِ إذا كانوا متمسِّكينَ بالإسلامِ والدعوةِ لكتابِ اللهِ
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya taat kepada para penguasa muslim selama tidak menyelisihi perintah Allah dan selama tidak memerintahkan kemaksiatan … Di dalam hadits ini, menunjukkan kewajiban taat kepada para penguasa muslim selama mereka berpegang teguh pada Islam dan menyeru manusia berpedoman pada kitabullah.
Kesimpulan dari beberapa penjelasan sebelumnya, bisa dipahami bahwa: (1) Perbedaan awal ramadhan dan hari raya, faktanya disebabkan batas politik nation-state. Setiap negara muslim merasa berwenang menentukan rukyat hilal sesuai batas negaranya, padahal tidak sesuai dengan ukuran mathla’ fiqih yang sebenarnya yakni 24 farsakh atau 133 KM. Adapun alasan ikhtilaf fiqih dan astronomis disinyalir hanya dalih untuk justifikasi normalisasi perbedaan tersebut. (2) Keberadaan penguasa tunggal yang mampu memimpin dan mempersatukan dunia Islam sehingga awal ramadhan dan hari raya bisa serentak bersama merupakan sebuah keniscayaan. (3) Penguasa ini bukan sembarang penguasa, namun penguasa yang menerapkan Islam secara menyeluruh, sehingga layak ditaati seluruh kaum muslimin dalam dunia Islam yang bersatu. (4) Berbagai penjelasan mengenai urgensi rukyat hilal global, tidak bisa dimaknai sebagai upaya menganggu ukhuwwah atau tidak menghargai ikhtilaf fiqih, karena justru ukhuwwah berbasis rukyat hilal global merupakan ukhuwwah yang sebenarnya, pasalnya ukhuwwah ini tidak memiliki sekat batas wilayah, karena ukhuwwah itu berbasis pada kesatuan akidah, bukan identitas politis atau historis yang tercipta melalui era kolonialisme sebagaimana plot Sykes-Picot. Persatuan umat Islam global itu merupakan sesuatu yang sangat rasional, seorang syaikh pernah menjelaskan:
الوحدة.. حلم مستحيل أم أنه مستقبل حاصل؟ وكيف تكون مستحيلة وقد تحققت في الماضي؛ فلقد جاء الإسلام والعرب في الجزيرة آنذاك فرق وطوائف لا تربطهم رابطة، ولا تجمعهم جامعة، إلا ما كان من دواعي العيش ومطالب الحياة في صورة لا تعدو وحدة قبلية، وعصبية جاهلية، وكانت على التفرق والخصام أقرب منها إلى الوحدة والوئام، فألّف الإسلام بين قلوب المسلمين على حقيقة واحدة صارخة، وهي الإيمان بإله واحد
Apakah persatuan umat itu mimpi yang utopis, atau masa depan yang realistis? Tapi bagaimana mungkin bisa dianggap utopis padahal persatuan tersebut pernah terjadi di masa lalu; Ketika Islam baru muncul, masyarakat Jazirah Arab kala itu berupa kelompok atau golongan yang tidak memiliki ikatan dan hubungan kecuali sekedar dorongan dan kebutuhan hidup karena kesamaan suku dan fanatisme jahiliah. Mereka lebih mudah berpecah belah dan berselisih ketimbang bersatu dan saling berdampingan. Lalu Islam mempersatukan hati kaum muslimin dalam sebuah kebenaran yang terang benderang, yakni beriman kepada Tuhan yang satu. (ar.islamway. net, 3/8/2009).
Akhir kata, semoga seluruh penjelasan artikel di atas bisa memberikan secercah cahaya dalam memahami perbedaan awal ramadhan dan hari raya di dunia Islam dewasa ini. Wallâhu a’lam.
Oleh: Yan S. Prasetiadi
Founder Akademi Fiqih Siyasah (AFISI)
COMMENTS