KHILAFAH, MUHAMMADIYAH DAN PANCASILA
KHILAFAH, MUHAMMADIYAH, DAN PANCASILA
Ketika menolak penerapan khilafah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nasir, berpesan kepada kaum muda untuk belajar sejarah.
“Tentu kaum muda juga terus harus belajar sejarah, jangan sampai anak-anak muda kemudian terputus dari sejarah dan tidak paham sejarah. Apa pun bidang ilmunya, belajar sejarah itu penting,” jelasnya ketika memberikan sambutan dalam acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah: Sumpah Pemuda dan Wawasan Kebangsaan Muhammadiyah, Jumat (16/10/2020) malam.
Menurutnya, hal inilah yang perlu dipahami oleh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah. Karena itulah, menurut dia, para tokoh Muhammadiyah dahulu akhirnya sepakat untuk melahirkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, yang telah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar.
Lantas, apa yang terjadi dalam lintasan sejarah sebelum 2015? Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi sangat penting untuk diambil pelajarannya bila melihat perubahan Muhammadiyah selama 91 tahun, dari yang memperjuangkan tegaknya khilafah (1924) hingga sepakat dengan Pancasila (2015).
Komite Khilafah (1924-1926)
Pada pertengahan 1924, beberapa tokoh umat Islam di Surabaya menerima surat undangan dari ulama Al-Azhar Mesir untuk Kongres Khilafah pada Maret 1925. Surat tersebut juga berisi tujuh belas poin penjelasan mengenai kekisruhan pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
“Secara garis besar ada dua hal yang ditekankan. Salah satunya adalah persoalan khilafah merupakan bagian dari syariat dan wajib untuk ditegakkan kembali,” ungkap sejarawan Septian AW kepada Media Umat, Senin (18/9/2017).
Maka, pada 4-5 Oktober, para tokoh Islam mengadakan pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam, Genteng, Surabaya untuk membahasnya. Pertemuan ini dihadiri oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, At-Tadibiyah, Tasfirul Afkar, Ta’mirul Masajid, dan lainnya.
Tokoh Sarekat Islam (SI), Oemar Said Tjokroaminoto, dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memiliki seorang khalifah dan perlunya peran aktif umat Islam di Indonesia untuk kepentingan khilafah.
Namun, forum tampak kurang percaya diri karena khawatir Mesir menganggap Nusantara hanya seperti lalat saja. Kemudian, Haji Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, memberi kepercayaan diri bagi umat Islam Indonesia. Jika memang benar orang Mesir memandang rendah orang Indonesia sebagai lalat, biarkan mereka tahu seperti apa lalat ini. Dia menegaskan bahwa Islam tidak membuat perbedaan ras, dan orang Indonesia tidak kalah dari orang Mesir.
Forum setuju. Maka, Fakhruddin mengusulkan agar mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat). Terpilihlah Wondo Soedirdjo sebagai ketua komite dan KH Abdul Wahab Hasbullah [yang kelak pada 1926 mendirikan Nahdlatul Ulama (NU)] sebagai wakilnya.
Komite ini bertugas untuk menetapkan delegasi dan mandat yang dibawa, serta biaya delegasi. Selain itu, komite ini juga menyiarkan pergerakan ini ke seluruh Hindia Belanda.
Kemudian, pada 25-27 Desember 1924, digelarlah Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh utusan dan wakil dari 68 organisasi pada masa itu, termasuk Muhammadiyah.
Dalam kongres yang berlangsung selama tiga hari tersebut, didapat tiga kesepakatan:
-
Wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan khilafah.
-
Akan terus didirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia.
-
Akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam Hindia Belanda ke Kongres Kairo.
Maka, terpilihlah Fakhruddin (Muhammadiyah), Soerjopranoto (SI), dan Abdul Wahab Hasbullah (perwakilan tradisionalis) sebagai perwakilannya.
Perumusan Dasar Negara (1945)
Dalam sejarah perumusan dasar negara, terjadi perdebatan sengit antara para ulama yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan tokoh-tokoh sekuler yang menolaknya.
Sebagaimana diakui Mr. Soepomo dalam pidatonya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terdapat dua paham:
-
Paham dari anggota ahli agama yang menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam.
-
Paham lain yang mengusulkan agar negara memisahkan urusan negara dengan Islam (negara sekuler).
Soekarno, salah satu tokoh yang menolak Islam dijadikan dasar negara, pada 1 Juni 1945 mencetuskan istilah Pancasila sebagai dasar negara.
Terjadilah perdebatan sengit hingga akhirnya terjadi kompromi, di mana Panitia Sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Menyadari bahwa Islam wajib diterapkan secara kaffah, tokoh Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, pada rapat 14 Juli mengusulkan agar frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret, sehingga bunyinya hanya “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam”. Namun, usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Soekarno.
Anehnya, beberapa jam atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 17 atau 18 Agustus 1945, tanpa sidang, Soekarno dan Muhammad Hatta melakukan penghapusan sepihak terhadap tujuh kata tersebut (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”).
Sidang Konstituante (1955-1959)
Anggota Konstituante yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu 1955 terbelah menjadi dua blok besar, yaitu:
-
Blok Islam (230 kursi, 44,8%): terdiri dari Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan lainnya.
-
Blok Pancasila (274 kursi, 53,3%): gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan lainnya.
Tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, dalam Sidang Konstituante menegaskan:
“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka...”
Muktamar Muhammadiyah ke-41 (1985)
Pada 7 Desember 1985, Presiden Soeharto membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo. Salah satu hasil muktamar tersebut adalah menerima asas tunggal Pancasila.
Muktamar Muhammadiyah ke-47 (2015)
Para tokoh Muhammadiyah sepakat melahirkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.
Haedar Nasir (2020)
Menurut Haedar Nasir, Muhammadiyah telah sepakat menolak ideologi lain yang datang dari luar, termasuk sistem khilafah dan sistem sekuler yang bertentangan dengan Pancasila.
Optimis
Dalam perjalanan sejarah, Muhammadiyah mengalami perubahan signifikan, dari yang awalnya memperjuangkan khilafah hingga akhirnya menolaknya.
Penulis optimis bahwa ke depan akan lahir lagi tokoh-tokoh seperti Buya Hamka dan Haji Fakhruddin, yang dengan tegas memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah ala Minhajin Nubuwwah.
Joko Prasetyo
Dimuat dalam rubrik Kisah Tabloid Media Umat edisi 280 (Akhir Desember 2020).
COMMENTS