Kamp Konsentrasi di Gaza: Proyek Distopia Israel-Trump yang Nyata
Kamp Konsentrasi di Gaza: Proyek Distopia Israel-Trump yang Nyata
Pada 16 Maret 2025, dua hari sebelum Israel mengumumkan serangan udara terbesar sejak awal konflik, jurnalis sayap kanan Israel Yinon Magal mengunggah cuitan yang memantik kekhawatiran global. Dalam pernyataannya, Magal mengisyaratkan bahwa Israel tidak hanya bersiap melanjutkan serangan, tetapi juga tengah membangun zona tertutup yang disebut sebagai "wilayah kemanusiaan". Tujuannya bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk mengurung dua juta lebih warga Gaza—secara sistematis dan permanen.
Tak lama berselang, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz memperkuat pernyataan itu. Dalam nada ancaman, ia menyebut bahwa warga Gaza kini menghadapi "peringatan terakhir". Serangan udara terhadap target Hamas, katanya, hanyalah langkah pertama. "Tahap berikutnya akan jauh lebih keras, dan kalian akan membayar harga mahal," ujarnya, merujuk pada operasi evakuasi besar-besaran menuju zona tertutup.
Dari Serangan ke Sistem Pemusnahan Terstruktur
Pernyataan-pernyataan ini bukanlah retorika kosong. Informasi internal yang diperoleh jurnalis Yoav Zitun dan dimuat oleh Ynet mengungkap percakapan penting dengan Brigadir Jenderal Erez Wiener. Jenderal yang baru saja dipecat karena dituduh membocorkan dokumen rahasia itu, membeberkan bahwa perang di Gaza telah memasuki "tahap akhir".
Menurut Wiener, Israel kini akan menggunakan metode "gabungan evakuasi dan pemboman" untuk memindahkan warga Gaza ke zona-zona tertutup yang dijaga ketat. Siapa pun yang berada di luar pagar akan dianggap musuh dan dapat dibunuh. Bangunan yang tersisa akan diratakan, dan Gaza—secara fungsional—akan dikosongkan dari warganya.
Yinon Magal bahkan menyebut zona tersebut secara eksplisit sebagai “kamp konsentrasi”—terminologi yang langsung mengingatkan kita pada sejarah kelam abad ke-20. Ini bukan hanya metafora. Ini adalah rencana kebijakan.
Proyek Frustrasi Trump dan Israel
Munculnya kamp konsentrasi sebagai solusi "akhir" bukanlah strategi pertama. Presiden Donald Trump sebelumnya mendorong skema relokasi "sukarela" melalui program bernama Gaza Reviera—sebuah narasi pembangunan yang menggabungkan tekanan militer dengan iming-iming ekonomi. Namun program itu gagal total.
Warga Gaza memilih bertahan, meski dibombardir dan dibantai. Bahkan ketika seruan evakuasi terus diumumkan lewat selebaran dan pengeras suara, mayoritas tetap di tempat mereka tinggal. Dunia Arab pun menolak gagasan relokasi massal ala Trump, termasuk tawaran untuk menerima gelombang pengungsi Palestina.
Kegagalan itu membuat frustrasi para perancang kebijakan. Maka, kamp konsentrasi dijadikan opsi utama.
Hipotesis yang Tidak Realistis
Dr. Dotan Halevy, peneliti dan editor buku Gaza: Place and Image in the Israeli Space, menyebut bahwa gagasan “keberangkatan sukarela” adalah hipotesis yang tidak realistis. Namun hal itu tak menghentikan pemerintah Israel untuk mencoba. Jenderal Ofer Winter ditunjuk mengepalai “Direktorat Keberangkatan Sukarela”—sebuah lembaga khusus di bawah Kementerian Pertahanan Israel yang bertugas merancang proses eksodus bertahap 2,2 juta penduduk Gaza.
Landasan ideologis dari skema ini juga bukan hal baru. Esai karya Dr. Omri Shafer Raviv yang berjudul “I Want to Hope They Leave” (Januari 2023) menjadi rujukan utama dalam menyusun narasi evakuasi. Dalam esai itu, Raviv mengusulkan dua pendekatan: mendorong warga Gaza ke Tepi Barat, lalu ke Yordania atau negara Arab lain, serta mencari negara-negara di Amerika Selatan yang bersedia menerima pengungsi Palestina.
Saat Strategi Bergeser: Dari Pengusiran ke Pemusnahan Mental
Namun seiring situasi geopolitik yang kian rumit, para pemangku kepentingan Israel dan Amerika menyadari bahwa strategi relokasi tidak dapat diwujudkan. Maka, opsi terakhir pun diambil: menghancurkan Gaza secara total dan mengurung para penyintas dalam kantong-kantong tertutup tanpa akses keluar masuk.
Tujuan akhirnya jelas—menciptakan rasa putus asa total. Warga Gaza yang terkunci akan menyadari bahwa mereka telah kehilangan rumah, komunitas, dan masa depan. Dalam kondisi itu, Israel berharap masyarakat Gaza sendiri yang akan memaksa Hamas menyerah, menyerahkan sandera yang tersisa, dan menerima tatanan baru: Gaza Baru.
Gaza Baru ini akan dibangun kembali dan dikelola oleh Otoritas Palestina di bawah pengawasan ketat Israel dan Amerika. Mereka yang tidak mau tunduk akan dibiarkan kelaparan, terserang penyakit, atau terpaksa melarikan diri jika ada peluang.
Eksperimen Sosial yang Mematikan
Apa yang dilakukan Israel dan Trump bukan sekadar strategi militer. Ini adalah eksperimen sosial berskala besar yang sangat berbahaya. Membangun kamp konsentrasi di abad ke-21 adalah bukti nyata kegagalan komunitas internasional untuk mencegah pengulangan tragedi sejarah.
Dengan dalih “zona kemanusiaan”, dunia sedang menyaksikan terbentuknya sistem apartheid modern—di mana dua juta manusia dikurung dalam pagar besi dan dipaksa untuk memilih antara kematian, kelaparan, atau pengasingan.
Apakah dunia akan tinggal diam?
Disarikan dari tulisan Faisal Lohy "TRUMP & ISRAEL BANGUN KAMP KONSENTRASI DI GAZA"
COMMENTS