Retret Kepala Daerah, Perlukah?
Retret Kepala Daerah, Perlukah?
Oleh: Wahyuni Musa
Presiden Prabowo Subianto melantik 961 kepala dan wakil kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (20/2). Setelah pelantikan, mereka dijadwalkan mengikuti retret sebagai bagian dari pembekalan intensif guna memperkuat pemahaman mengenai tugas pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan urgensi dan manfaat dari kegiatan ini.
Retret ini akan berlangsung selama sepekan, dari 21 hingga 28 Februari 2025, di Magelang, Jawa Tengah. Anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini mencapai Rp13,2 miliar (sumber: VOA Indonesia).
Retret: Metode atau Masalah Sistemik?
Retret sebagai bentuk pembekalan bagi kepala daerah pada dasarnya hanyalah metode yang bisa digunakan dalam berbagai sistem pemerintahan, baik demokrasi, Islam, maupun komunisme. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas kepemimpinan dan pemahaman mereka terhadap tugas pemerintahan. Dalam sistem apa pun, pelatihan atau pembekalan bagi pemimpin daerah adalah sesuatu yang wajar dan bahkan diperlukan.
Namun, persoalan muncul ketika retret ini dipertanyakan efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan daerah. Yang lebih mendesak saat ini adalah memastikan para kepala daerah segera melakukan konsolidasi dengan jajaran pemerintahan di wilayah masing-masing. Terlebih lagi, dalam waktu dekat masyarakat akan menghadapi bulan Ramadan, yang menuntut kesiapan daerah dalam berbagai aspek, seperti ketersediaan stok pangan dan pengaturan arus mudik Lebaran. Jika kepala daerah harus meninggalkan tugas mereka selama satu minggu penuh, dikhawatirkan respons terhadap berbagai persoalan yang mendesak menjadi lamban.
Selain itu, pemerintah telah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang dampaknya akan segera dirasakan masyarakat. Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan berpotensi mengalami pemangkasan, sementara daya beli masyarakat diprediksi melemah seiring dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat hanya akan memperburuk keadaan.
Dimana Seharusnya Retret Ditempatkan?
Retret, atau bentuk lain dari pembekalan bagi kepala daerah, seharusnya ditempatkan sebagai bagian dari mekanisme peningkatan kapasitas kepemimpinan yang efektif, efisien, dan memiliki dampak nyata bagi rakyat. Jika retret hanya menjadi kegiatan formalitas tanpa ada perubahan konkret dalam tata kelola daerah, maka efektivitasnya patut dipertanyakan.
Dalam sistem apa pun, pembekalan kepemimpinan harus mempertimbangkan:
- Relevansi dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi kepala daerah.
- Efisiensi dalam penggunaan anggaran.
- Dampak langsung terhadap kinerja kepala daerah dalam melayani rakyat.
Jika sebuah retret hanya menjadi ajang seremonial dengan fasilitas mewah sementara masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi, maka hal ini lebih mencerminkan kelemahan dalam tata kelola pemerintahan yang ada, bukan kesalahan konsep retret itu sendiri.
Apakah Retret Adalah Persoalan Sistemik?
Retret bukanlah inti dari persoalan sistemik, tetapi cara penerapannya bisa mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem pemerintahan yang berlaku. Dalam sistem demokrasi-kapitalisme, sering kali kebijakan lebih berpihak pada elite daripada rakyat, sehingga retret bisa menjadi simbol dari ketidakpekaan pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, dalam sistem lain seperti Islam atau bahkan komunisme, retret bisa saja tetap dilakukan dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Jadi, persoalan utamanya bukan terletak pada ada atau tidaknya retret, tetapi bagaimana sistem yang berlaku memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar membawa manfaat bagi rakyat. Jika sistem yang diterapkan lebih mengutamakan kepentingan elite dibanding kesejahteraan masyarakat, maka kritik terhadap kebijakan seperti retret adalah wajar.
Persoalan Sistemik dalam Tata Kelola Pemerintahan
Fenomena ini mencerminkan realitas bahwa sistem yang diterapkan saat ini, yaitu Kapitalisme-Neoliberal, telah melahirkan kepemimpinan yang jauh dari prinsip pelayanan kepada rakyat. Sistem ini menjadikan negara lebih berfungsi sebagai operator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi, alih-alih sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Dalam sistem Islam, penguasa memiliki peran sebagai ra’ain (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Mereka bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Khalifah dalam Islam memastikan bahwa kebijakan yang diambil selalu berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan sekadar seremonial yang memboroskan anggaran. Jika diperlukan pembekalan bagi pemimpin, maka akan dilakukan dengan efektif, efisien, dan berfokus pada substansi, bukan kemewahan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (Khalifah) adalah ra’ain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari).
Kesimpulan
Retret kepala daerah yang mengabaikan urgensi masalah rakyat adalah persoalan kebijakan yang bisa mencerminkan kelemahan dalam sistem pemerintahan yang ada. Selama sistem yang diterapkan tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, maka kebijakan seperti retret akan terus menuai kritik.
Namun, retret itu sendiri bukanlah inti dari persoalan sistemik, melainkan metode yang bisa diterapkan dalam berbagai sistem pemerintahan. Yang menentukan manfaat atau keburukannya adalah bagaimana sistem itu mengelola dan mengarahkannya. Dalam sistem yang berpihak kepada rakyat, pembekalan kepemimpinan akan dilakukan dengan efektif, efisien, dan benar-benar berdampak pada perbaikan tata kelola daerah, bukan sekadar seremoni yang menghabiskan anggaran.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
COMMENTS