Ramadhan 2025: Tantangan Kaum Muslim di Tengah Sekularisasi dan Kapitalisme
Ramadhan 2025: Tantangan Kaum Muslim di Tengah Sekularisasi dan Kapitalisme
Oleh: Panca Andini
Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinantikan seluruh kaum Muslimin yang beriman karena keagungan dan keistimewaannya. Bulan yang sarat dengan peluang perolehan pahala besar, yang mampu mengantarkan kita pada Jannah-Nya. Namun, jika kita lihat realitas kehidupan kaum Muslimin saat ini, yang sarat dengan kehidupan sekuler kapitalistik, sangat tidak mendukung dan banyak tantangan bagi kaum Muslimin untuk beribadah, memperbanyak amal ibadah, serta meningkatkan ketakwaannya.
Kemaksiatan yang semakin merajalela, bahkan di bulan Ramadhan, seolah tidak menjadi penghalang untuk terus dilakukan. Memang, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka menghormati bulan Ramadhan, salah satunya adalah pembatasan jam operasional beberapa usaha yang dianggap kurang relevan dengan bulan ibadah ini.
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta mengeluarkan pengumuman terkait operasional usaha pariwisata selama bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1446 H/2025 M. Pengumuman tersebut mengatur penutupan sementara beberapa jenis usaha pariwisata, seperti kelab malam, diskotek, panti pijat, dan bar, mulai H-1 Ramadhan hingga H+1 hari kedua Idul Fitri. (news.republika.co.id, 2 Maret 2025)
Andhika Perkasa, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menyampaikan bahwa ada tempat lain yang wajib tutup dalam periode yang sama, seperti arena permainan ketangkasan manual, mekanik, dan/atau elektronik untuk orang dewasa. Walaupun demikian, tempat usaha di hotel bintang empat dan lima masih diizinkan beroperasi. Kemudian, diskotek dan kelab malam yang berada di dalam hotel, tempat komersial, serta yang tidak berdekatan dengan permukiman warga, rumah ibadah, sekolah, serta rumah sakit, masih mendapat izin untuk beroperasi. (metrotvnews.com, 28 Februari 2025)
Potret Sekularisasi
Pengaturan jam operasional tempat hiburan selama bulan Ramadhan, alih-alih memberantas kemaksiatan secara tuntas, justru memperlihatkan inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah. Fenomena ini semakin diperparah dengan adanya perbedaan kebijakan antar daerah, di mana beberapa daerah bahkan tidak lagi melarang operasional tempat hiburan selama bulan suci. Realitas ini mencerminkan potret pengaturan yang didasarkan pada sistem kapitalisme sekuler, yang secara tegas memisahkan aturan agama dari kehidupan publik.
Paradigma yang digunakan lebih menekankan pada asas kemanfaatan ekonomi, meskipun hal tersebut bertentangan dengan ketentuan syariat. Bahkan, kehadiran bulan suci Ramadhan yang seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan ketakwaan, tidak mampu membendung praktik kemaksiatan. Hal ini menjadi bukti nyata adanya sekularisasi yang merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Di sisi lain, keberadaan kemaksiatan semacam ini juga mengindikasikan kegagalan sistem pendidikan sekuler. Sistem pendidikan yang hanya berfokus pada pengembangan aspek intelektual dan material, tanpa diimbangi dengan pendidikan moral dan spiritual yang kuat, tidak mampu menghasilkan generasi yang memiliki karakter dan integritas. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk reformasi sistem pendidikan yang lebih holistik serta penegakan kebijakan yang konsisten dan berlandaskan pada nilai-nilai agama.
Memberantas Kemaksiatan dengan Islam Kaffah
Kemaksiatan, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar pelanggaran moral, melainkan pelanggaran terhadap hukum syarak yang memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Oleh karena itu, pemberantasan kemaksiatan secara tuntas hanya dapat dicapai melalui penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam naungan Khilafah.
Sistem Khilafah, sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam, memiliki perangkat hukum yang lengkap dan terstruktur untuk mencegah dan memberantas kemaksiatan. Dalam sistem ini, setiap tindakan yang bertentangan dengan syariat Islam akan mendapatkan sanksi yang sesuai, baik sanksi yang bersifat preventif maupun represif. Selain itu, Khilafah juga memiliki mekanisme yang efektif untuk mengawasi dan menegakkan hukum, sehingga kemaksiatan dapat diminimalisir.
Termasuk dalam pengaturan hiburan dan pariwisata, semuanya akan diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Asas kemanfaatan semata tidak lagi menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan, melainkan ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Hiburan dan pariwisata yang diizinkan adalah yang memberikan manfaat bagi kesehatan fisik dan mental serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika Islam. Segala bentuk hiburan dan pariwisata yang menjerumuskan pada kemaksiatan, seperti perjudian, minuman keras, atau pergaulan bebas, akan dilarang secara tegas.
Penerapan sanksi yang tegas dan menjerakan akan diberlakukan bagi pelaku kemaksiatan sebagai bentuk pencegahan dan penegakan hukum syariat. Sanksi ini bukan semata-mata hukuman, tetapi juga upaya untuk membersihkan diri dari dosa dan memberikan efek jera bagi orang lain.
Lebih dari sekadar penegakan hukum, Khilafah juga menekankan pada pendidikan dan pembinaan masyarakat agar memiliki kesadaran dan ketaatan terhadap syariat Islam. Sistem pendidikan Islam memainkan peran krusial dalam membentuk individu yang bertakwa, yang akan senantiasa berpegang pada syariat dalam setiap aspek kehidupannya. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moral yang kuat.
Individu yang dididik akan memiliki kesadaran yang tinggi akan tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim, baik dalam memilih hiburan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam maupun dalam membuka usaha atau memilih pekerjaan yang halal dan berkah. Mereka akan senantiasa mengutamakan ridha Allah SWT dalam setiap tindakan dan keputusannya, sehingga mampu menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
COMMENTS