Indonesia Gelap: Butuh Perubahan Hakiki, Bukan Sekedar Demonstrasi
Indonesia Gelap: Butuh Perubahan Hakiki Bukan Sekedar Demonstrasi
Oleh : Dina Aprilia
Beberapa waktu lalu, media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram diramaikan dengan tagar #IndonesiaGelap, menyusul #KaburAjaDulu yang lebih dulu menjadi trending topic. Kedua tagar ini mencerminkan kekecewaan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, termasuk kenaikan tarif PPN 12%, polemik Makan Bergizi Gratis (MBG), kisruh LPG 3 kg yang menelan korban, serta pemangkasan anggaran program sosial. Berbagai keputusan ini kian menuai protes, terutama karena terjadi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Dan baru-baru ini DPR mengesahkan UU TNI dimana undang-undang tersebut diduga akan mengembalikan kekuasaan TNI seperti halnya dimasa Orde Baru.
Kekecewaan ini tidak hanya ramai di media sosial, tetapi juga meluas ke aksi massa yang digelar mahasiswa di berbagai daerah, seperti Surabaya, Yogyakarta, Medan, Palembang, Jakarta, Makassar, Bandung, dan Banjarmasin. Di Jakarta, misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Senin, 17 Februari 2025. (Beritasatu.com 17/02/2025)
Namun, perlu dicermati bahwa aksi massa semacam ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, berbagai aksi serupa juga pernah digelar mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintah, seperti Aksi Reformasi Dikorupsi (2019), aksi menolak Omnibus Law (2020-2021), aksi menolak kenaikan harga BBM (2022), dan berbagai demonstrasi lainnya. Faktanya, aksi-aksi tersebut tidak membawa perubahan signifikan. Pemerintah tetap membuat kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Sungguh demonstrasi dalam sistem saat ini cenderung bersifat negatif karena sering kali diarahkan pada hal yang bersifat anarkis dan perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud jika yang diperjuangkan masih dalam sistem demokrasi. Sebab, demokrasi itu sendiri dirancang untuk melindungi kepentingan elite penguasa dan pemilik modal, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, hukum tidak memiliki standar tetap, sehingga mudah dimanipulasi sesuai kepentingan kelompok tertentu.
Sedangkan Islam memandang bahwa aksi atau demonstrasi semacam ini merupakan bentuk penyampaian pendapat diruang publik, sehingga termasuk bagian dari jihad bi lisan dan amar makruf nahi mungkar, sehingga bukanlah tindakan terlarang, tapi dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti tidak boleh adanya pelanggaran syariat, tidak boleh menimbulkan kerusakan, serta harus dilakukan dengan adab dan akhlak yang baik sesuai Islam.
Jika kita menilik sirah Rasulullah SAW, tidak ada istilah demonstrasi seperti saat ini, karena demonstrasi sendiri lahir dari sistem demokrasi modern. Tetapi, ada beberapa peristiwa yang sering dikaitkan dengan demonstrasi, seperti, saat Umar bin Khattab menyatakan ke-Islamannya secara terbuka, atau saat Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslim untuk keluar secara terbuka dalam dua shaf, yang dipimpin oleh Umar bin Khattab dan Hamzah ibn Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhuma, sebagai bentuk izhhar ad-dakwah (menampakkan dakwah secara terbuka) kepada kaum Quraisy, yang keduanya lebih kepada penyampaian dakwah dan sikap perlawanan terhadap kezaliman, bukan metode perubahan sistemis.
Rasulullah SAW sendiri, meskipun hidup dalam sistem Jahiliah yang penuh kezaliman, namun beliau tidak pernah menempuh jalan demonstrasi sebagai metode perubahan, melainkan melalui dakwah pemikiran yang terstruktur dalam tiga tahap, yaitu: Tatsqif (pembinaan umat), Tafa’ul ma’a al ummah (interaksi dengan umat), dan Istinsar (meminta pertolongan kepada ahlul quwwah). Inilah metode perubahan yang terbukti membawa perubahan yang hakiki dengan tegaknya Daulah Islamiyah.
Dengan demikian, aksi (demo) itu sifatnya cara (uslub) saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan yang nyata. Jika akar masalahnya tidak diubah, maka pergantian rezim pun tidak akan membawa perubahan berarti. Karena itu, selama sistem sekuler-demokrasi masih diterapkan, perubahan hakiki tidak akan terjadi. Satu-satunya solusi adalah menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan, melalui institusi negara Khilafah. Sebab, dalam Khilafah, hukum dibangun berdasarkan syariat Allah, bukan dari suara mayoritas yang mudah dipengaruhi kepentingan duniawi.
Lebih dari itu, pemimpin dalam Khilafah memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah), yakni pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) mereka sesuai standar Islam. Dengan karakter ini, mereka akan menjadi pemimpin yang amanah dan adil dalam setiap keputusan, bukan sekadar boneka oligarki. Dengan mekanisme politik yang berbasis syariat, tidak akan ada celah bagi aturan yang dibuat demi kepentingan segelintir orang.
Perubahan sistemis seperti ini hanya dapat terwujud jika ada kesadaran di tengah-tengah masyarakat, terutama para mahasiswa sebagai agen perubahan. Tugas mereka bukan hanya sekadar berdemo, tetapi menyuarakan Islam sebagai solusi hakiki, dengan mengikuti pembinaan dalam kelompok dakwah ideologi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
COMMENTS