Banjir Jabodetabek: Tata Ruang Kota dan Urbanisasi yang Ugal-ugalan
Banjir Jabodetabek: Tata Ruang Kota dan Urbanisasi yang Ugal-ugalan
Oleh: Rahmawati Ayu Kartini (Pemerhati Sosial)
Siapa yang mengira, kegembiraan menyambut bulan suci Ramadan berujung kesedihan. Sepulang tarawih hari kedua, Atik Nurhayati (48) disergap oleh air berlumpur. Air masuk ke rumahnya di Desa Tugu Selatan, kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Ini bukan pertama kali banjir datang, namun ia merasa kali ini jauh lebih buruk. Air bukan hanya datang dari sungai yang meluap, melainkan juga menyembur dari bawah tanah, merusak fondasi rumahnya.
Sejak tinggal di kawasan itu 13 tahun lalu, Atik mengaku bencana datang semakin sering dan parah.
“Sekarang airnya datang dari segala arah, atas, depan, sampai dari bawah lantai rumah,” ujar Atik.
Beberapa jam kemudian, di bagian hilir, ratusan warga di Bekasi, Jawa Barat, dievakuasi setelah air setinggi lebih dari dua meter merendam permukiman mereka. Kali Bekasi meluap setelah hulu di Bogor diguyur hujan ekstrem. Jakarta, Depok, dan Tangerang Selatan mendapat banjir kiriman. Akibatnya, dalam satu malam, banjir melanda sejumlah kawasan di Jabodetabek. (Kompas.id, 7/3/2025)
Gubernur Pun Menangis
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tak kuasa menahan tangis saat menyaksikan kerusakan alam akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak. Ia berulang kali menyeka air mata setelah melihat langsung dampak dari pembangunan yang merusak ekosistem Gunung Gede Pangrango.
Tanah menjadi terbelah dan longsor, diduga akibat proyek pembangunan ekowisata seperti jembatan gantung dan taman hiburan Hibisc Fantasy Jaswita, yang sebelumnya merupakan perkebunan teh.
“Ini daerah kemiringan yang sangat tinggi. Terus kemudian di bawahnya ada sungai, airnya mengalir ke kampung penduduk. Jadi, banjir di kampung itu penyebabnya dari sini (Hibisc Jaswita),” kata Dedi.
Ketika Tata Ruang Menjadi Tata Uang
Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan bahwa penyebab banjir awal Ramadan kemarin adalah tata ruang kota yang buruk akibat mengabaikan ruang air di seluruh area Jabodetabek. Menurutnya, ruang kota kini menjadi komoditas ekonomi.
“Tata ruang berubah jadi tata uang.”
Akibat alih fungsi lahan, rata-rata ruang terbuka hijau di Jabodetabek kini kurang dari 10 persen. Bahkan, lebar sungai di Jakarta yang awalnya 50 meter kini rata-rata hanya 10–15 meter.
Kota-kota kita buruk dalam pembangunan drainase—sistem pembuangan air yang dapat dilakukan secara alami atau buatan.
“Kalah dengan pembangunan jalan, jalan pun dibangun tanpa drainase.”
Terkait drainase, Yayat mengatakan jumlahnya kini sangat sedikit, bahkan tidak terawat karena kurangnya pemeliharaan dari dinas-dinas terkait.
“Penyebabnya tentu saja karena anggaran yang terbatas. Prioritas APBD lebih untuk mengikuti kemauan masyarakat dan investor. Akibatnya, yang menjadi kebutuhan justru tidak terakomodasi dengan baik.”
Urbanisasi yang Ugal-ugalan
DKI Jakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan penduduk terpadat di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Jumlah penduduk Jakarta pada 2022 mencapai 10,75 juta jiwa. Tentu saja, kepadatan ini berpengaruh terhadap kota-kota satelit sekitarnya (Jabodetabek).
Sudah rahasia umum, urbanisasi ke wilayah Jabodetabek terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, urbanisasi yang tidak terencana (ugal-ugalan) ditambah tata ruang kota yang amburadul akan berkontribusi besar terhadap banjir!
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), daerah padat penduduk cenderung lebih banyak menghuni Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini mempersempit badan sungai, menyebabkan penumpukan sampah dan sedimentasi (pengendapan), sehingga mengurangi daya tampung air sungai.
Parahnya, banjir di Pulau Jawa lebih dipicu oleh urbanisasi daripada alih fungsi lahan.
“Karena Jawa terkenal dengan karakter urbanisasi. Ini berbeda dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang lebih besar dipengaruhi oleh alih fungsi lahan.”
Banjir Butuh Solusi, Bukan Dihindari
Masalah demi masalah yang melanda negeri ini akan terus berulang, bahkan semakin bertambah meskipun pemimpin berganti. Ini karena diterapkannya sistem kapitalisme sekuler, di mana kepuasan materi menjadi tujuan utama tanpa memperhatikan aturan Allah.
Viralnya istri Wali Kota Bekasi yang mengungsi ke hotel saat banjir, meskipun sudah ditegur oleh Gubernur Dedi Mulyadi, menunjukkan kurangnya empati terhadap rakyat yang harus tinggal di pengungsian.
Alih fungsi lahan hutan dan sawah menjadi permukiman, perkantoran, serta tempat wisata menunjukkan bahwa kepentingan investor lebih diutamakan daripada kebutuhan rakyat.
Urbanisasi semakin menjadi-jadi karena negara mengurangi campur tangan dalam liberalisasi ekonomi.
“Tidak ada pemerataan pembangunan. Akibatnya, rakyat terpaksa berjuang sendiri, meninggalkan desanya mencari tempat yang layak di kota. Inilah wajah asli kapitalisme, di mana kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi keniscayaan. Pemodal dirangkul, rakyat dipukul.”
Tata Ruang Kota dalam Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Allah sebagai solusi atas segala persoalan kehidupan. Islam memiliki aturan yang sempurna, mencakup ibadah hingga tata kehidupan, termasuk penataan ruang.
Kemampuan Islam menata peradaban telah terbukti berabad-abad. Disebut sebagai urban religion, karena Islam memiliki cara menata kehidupan kota yang kompleks, padat penduduk, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
“Ketika di masa keemasannya, kota-kota di Eropa masih gelap, jorok, dan tidak tertata, kota-kota dalam Kekhilafahan Islam sudah terang benderang, bersih, dan terstruktur rapi. Tidak heran saat itu peradaban Islam menjadi mercusuar dunia.”
Islam memiliki konsep tata kota yang menyeluruh, meliputi sistem pertahanan, jalanan kota, fasilitas umum, hingga sistem sosial politik. Islam meletakkan strategi urban berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Secara umum, fiturnya meliputi:
- Akidah dan syariat Islam;
- Prinsip desain;
- Kondisi alam dan topografi;
- Penjagaan terhadap kualitas interaksi sosial.
(Fika Komara, dalam Labirin Kaum Urban, 2025)
Terkait masalah banjir akibat tata ruang yang salah, hal ini terjadi karena kurangnya perhatian terhadap kondisi alam dan topografi.
“Suatu kemaksiatan kepada Allah jika pemimpin negara abai terhadap keselamatan rakyatnya hanya karena investasi. Hingga terjadi bencana yang sebenarnya bisa dicegah jika ditata dengan baik.”
Urbanisasi yang tidak terkendali pun tidak akan terjadi jika pembangunan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat.
“Inilah sistem ekonomi Islam, yang memperhatikan kesejahteraan tiap individu rakyatnya. Bukan mengukur kesejahteraan dari pendapatan rata-rata.”
Seperti teladan Khalifah Umar bin Khattab yang berkata:
“Aku akan segera perbaiki, sebab aku takut dimintai tanggung jawab di hadapan Allah nanti, hanya karena ada seekor keledai yang terjungkal...”
Begitulah Islam mengatur kehidupan—mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan ekonomi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
COMMENTS