Polemik Pagar Laut, Negara Darurat Korporatokrasi
Polemik Pagar Laut, Negara Darurat Korporatokrasi
Oleh: Ummu Habibi
Penemuan kasus pagar laut yang menghebohkan publik tak ubahnya seperti sebuah drama. Pasalnya, sudah jelas terindikasi adanya pelanggaran hukum namun tidak juga segera ditindaklanjuti dan diproses pidana. Bahkan pada awal kasus ini viral, beberapa pejabat terkait malah memberi respon bahwa mereka tidak mengetahui adanya pagar laut tersebut.
Deretan pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang diketahui setidaknya telah ada sejak Juli 2024. Hal ini sebagaimana kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil. Namun, seperti biasa pemerintah baru bertindak mencabut pagar tersebut setelah viral di media sosial.
Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan Heri Amrin Fasa mengatakan, bahwa pada September 2024 lalu kelompok nelayan tradisional telah mengadu persoalan ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Pejabat dinas saat itu hanya menyebut pagar bambu tersebut didirikan tanpa izin, tetapi mereka mengklaim tidak berwenang mencabutnya. Selain telah menyulitkan mereka mencari ikan, para kelompok nelayan juga khawatir jika pagar yang didirikan untuk proyek reklamasi.
Merasa tidak menemukan solusi dari dinas terkait, Heri dan kelompok nelayan lantas mengadu ke Ombudsman di Jakarta hingga kemudian kasus ini menjadi viral. Dari hasil pertemuan dengan sejumlah stakeholder, Heri menyimpulkan bahwa pejabat DKP, ATR/BPN, kelurahan, bahkan semua aparatur negara diam sebelum isu ini mencuat. Padahal pagar laut itu jelas ilegal, sangat kasat mata, dan bukan perkara kecil.
Setelah ditelusuri ternyata bahwa kasus pagar laut tidak hanya terjadi di Tangerang. Di daerah lain, seperti Bekasi, Surabaya, Bali, dan Makassar juga ditemukan keberadaan pagar bambu serupa yang tertancap di laut. Mencermati hasil pertemuan kelompok nelayan Tangerang dengan pejabat terkait tadi, bisa diduga kuat bahwa latar belakang pembangunan maupun dalang di balik keberadaan pagar laut itu juga sama.
Mirisnya, berdasarkan penelusuran Kementerian ATR/BPN terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pemagaran laut di Tangerang, Banten, telah terbit 263 bidang SHGB, yang terdiri dari 234 bidang SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan sembilan bidang atas nama perseorangan.
Selain itu, ditemukan juga 17 bidang SHM. Ada dugaan bahwa pemagaran ilegal dilakukan untuk proyek reklamasi. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid kemudian menyatakan, beberapa sertifikat itu batal demi hukum dan dilanjutkan dengan menjatuhkan sanksi kepada delapan pejabat Kantor pertanahan Tangerang, yang diduga terlibat dalam kasus pagar laut itu.
Menanggapi hal ini, Praktisi hukum yang juga pengamat kebijakan publik Yus Dharman mengatakan, pemagaran atau pematokan laut merupakan kejahatan korporasi. Ia meminta pelaku jangan berdalih bahwa pemagaran laut yang sebenarnya merugikan nelayan itu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Ia juga menegaskan, hanya pejabat yang tidak memiliki hati nurani yang berani menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut dengan melanggar banyak aturan.
Meski pelanggaran hukum sudah jelas, hingga kini otak pelaku pemagaran laut di Tangerang masih belum terjamah oleh hukum. Apalagi kenyataannya hari ini hukum sering dikalahkan oleh kekuatan uang dan koneksi “orang dalam”. Adapun para pejabat dari pusat, daerah, hingga kelurahan hanya sibuk melempar tanggung jawab, bersilat lidah, dan berlepas tangan. Alih-alih menjalankan jabatannya dengan amanah, mereka malah menjadi perantara para kapitalis untuk melancarkan aksinya.
Jika kita dalami, kasus pagar laut itu tidak ubahnya kasus penjualan pulau-pulau kecil ataupun area pesisir laut di berbagai kawasan di Indonesia. Semuanya menegaskan betapa kuatnya pengaruh korporasi di dalam lingkaran kekuasaan penguasa negara. Inilah yang disebut dengan korporatokrasi.
Kasus pagar laut di Tangerang yang diduga menjadi bagian dari proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) hanya salah satu contoh praktik korporatokrasi, terutama karena pembangunannya telah dinyatakan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dikutip dari Katadata (24/03/2024), Jokowi menetapkan PIK 2 menjadi PSN, bersamaan dengan Kawasan Terpadu Bumi Serpong Damai (BSD).
PSN di PIK 2 tentu saja hanya memihak kaum berduit karena di kenal sebagai kawasan elit. PIK 1 dan PIK 2 diketahui dibangun oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group. PIK 2 bahkan digadang-gadang sebagai pengembangan besar yang menghubungkan Indonesia dengan negara di seluruh dunia. Ini karena PIK 2 dibangun sebagai waterfront city yang didesain berkelas dunia, juga smart city yang didesain dengan teknologi modern sekaligus pengembangan properti dengan peluang investasi yang menjanjikan.
Dari nama pembangunnya, kita sudah sejak dahulu mengenalnya sebagai jejaring konglomerat taipan di Indonesia. Selain memihak para kapitalis, PSN di PIK 2 jelas proyek titipan mereka. Dengan kata lain, daya gunanya mustahil untuk masyarakat luas, kendati judul proyeknya menggunakan embel-embel “nasional”. Namun sebaliknya, semua itu tidak ubahnya proyek dengan modal dari taipan, dibangun oleh taipan, dan untuk kawan-kawan taipan. Na'udzubillah!
Lahirnya konsep korporatokrasi itu tidak lepas dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme sehingga berimplikasi pada munculnya aturan yang berpihak pada oligarki. Karakteristik korporatokrasi adalah adanya dukungan korporasi pada keterpilihan presiden dan dukungan tersebut berkonsekuensi pada ketergantungan. Dengan kata lain, tidak ada “makan siang gratis” (no free lunch) di balik dukungan itu.
Saat ini sistem pemerintahan kita memang oligarki dan korporatokrasi. Kekuatan kapital telah menjadi faktor yang menentukan jabatan politik di negeri kita. Artinya, kekuasaan ditentukan oleh kekayaan dan sumbernya adalah korporasi.
Maraknya penyalahgunaan kekuasaan melalui korporatokrasi yang dihalalkan oleh sistem saat ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah menjadi alat kezaliman terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini rakyat. Atas nama kapital, penguasa lebih memihak pengusaha. Bahkan, banyak dari penguasa yang memiliki peran ganda sebagai pengusaha. Pada postur kabinet saat ini, konsep seperti itu sangat jelas terlihat. Tidak hanya di Indonesia, sistem kekuasaan yang demikian itu terjadi di banyak negara sekuler kapitalisme.
Di sektor ekonomi, dalam kitab An-Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjaga harta individu umat dan menjamin distribusi harta kepada individu per individu. Sistem ekonomi Islam juga mengatur konsep kepemilikan harta dan membaginya menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Perihal laut, keberadaannya adalah termasuk harta kepemilikan umum yang jika dikuasai oleh individu jelas menghalangi individu lain untuk bisa mengakses dan memanfaatkannya.
Jika ada pihak-pihak yang berusaha memprivatisasi laut sebagaimana kasus pagar laut, Khilafah akan tegas menindak tiap pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Ini sebagaimana dalam hadis;
“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran hukum Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Sungguh, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Rasulullah saw. telah mengingatkan umatnya akan bahaya cinta kekuasaan (hubb ar-ri’asah) dan agar berhati-hati terhadap ambisi berkuasa ini. Beliau saw. bersabda, “Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR Ath-Thabrani). Wallahua'lam bish-shawwab.
COMMENTS