HTI GOING ON
by Faisal Lohy
HTI going on. Permainan kelompok Buzzer Geng Solo besutan Si Cungkring, Raja Jawa, yang sedang ketar-ketir menghadapi derasnya tuntutan rakyat untuk memenjarakan dirinya, anggota keluarganya, serta kroni-kroninya.
Salah satu persoalan yang cukup bikin puyeng Si Cungkring adalah kasus PIK 2 dan pagar laut yang menyeret nama Aguan dan Anthony Salim. Desakan rakyat mengerucut pada tuntutan pidana dengan prioritas membongkar kolusi antara Aguan dan Anthony Salim dengan Si Cungkring sebagai langkah awal membuktikan perkara korupsi yang juga melibatkan sejumlah menteri, kepala daerah, camat, pejabat desa, dan tokoh masyarakat pendukung oligarki.
Hembusan isu persekusi HTI hanya satu dari beberapa isu prioritas yang sengaja digelar, termasuk gerakan tambahan yang dilakukan Bahlil dengan memanipulasi kebijakan hingga memicu polemik LPG 3 kg untuk memutar fokus publik.
Apakah Bahlil melakukannya atas restu Prabowo? Entahlah.
Terkait isu HTI, buzzer laknat besutan Geng Solo mengemas konten secara serampangan, melibatkan sejumlah nama-nama terkemuka yang dikenal sebagai pembesar sejumlah ormas Islam.
Tanpa malu, mereka tampil sebagai boneka buzzer-nya Si Cungkring, menyundul HTI dengan kalimat-kalimat yang tidak berkualitas, otak kosong, asal bunyi. Dikiranya masyarakat Indonesia ini sebodoh yang mereka kira.
Kalimat persekusi paling lucu adalah “HTI pengasong khilafah”, menyebut khilafah sebagai ajaran HTI.
Sebodoh itukah mereka? Berambisi persekusi sesuatu, saking bencinya, saking ngototnya, sampai lupa belajar, lupa riset, kalau khilafah itu bukan ajaran HTI, tapi ajaran Islam yang mulia.
Itulah bodohnya mereka. Khilafah selalu dinisbatkan kepada Hizbut Tahrir. Padahal khilafah bukan ajaran yang bersumber dari pikiran Hizbut Tahrir, tetapi bersumber dari ajaran Islam. Hizbut Tahrir hanya menyampaikan dan memperjuangkan. Khilafah itu ajaran Islam yang bersifat aksioma dan dogma. Khilafah adalah kumpulan kenyataan, sejarah, dan dalil yang hanya dapat dilihat kebenarannya oleh orang-orang yang berakal.
Sampah akan tetap menjadi sampah di mana pun ia berada. Mau didaur ulang secanggih apa pun, direnarasikan sebaik apa pun, sejatinya tetap sampah. Lalu bagaimana bisa sampah dijadikan sebagai bahan untuk menjatuhkan ajaran Islam, menghancurkan kebenaran?
Mungkin mereka juga lupa bahwa penyebaran paham khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam terlegitimasi secara konstitusional. Bahkan tak ada satu pun aturan perundang-undangan yang menjelaskan bahwa khilafah adalah ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Jadi, terlihat dua bagian kebodohan yang dipertontonkan mereka. Pertama, menyebut khilafah adalah ajaran HTI. Kedua, menyebut khilafah sebagai ajaran terlarang, padahal tidak pernah dilarang dalam UUD 1945 dan tidak ada satu pun regulasi di bawahnya yang menyebut khilafah sebagai ajaran terlarang.
Dengan kebodohan yang terus disebarluaskan ini, justru nama HTI semakin terangkat. Simpati dan respek umat akan teragregasi dengan mudah. Pikiran dan perasaan masyarakat akan makin peka bertanya: apa kesalahan HTI? Apa pelanggaran konstitusi yang dilakukan? Apa tindak pidana? Adakah korupsi yang merugikan negara dan masyarakat?
Tanpa bisa dijelaskan dan dibuktikan letak kesalahan HTI secara hukum, dengan sendirinya masyarakat akan sadar bahwa HTI sedang berada pada kondisi yang terzalimi. Hal ini justru akan berubah menjadi energi positif, bak promosi besar-besaran tentang HTI dan gagasannya.
Terbukti, di kalangan kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar, HTI semakin dikenal, didukung, dan diikuti karena jati diri gagasan dan gerakan tanpa kekerasan yang menggelinding tanpa dibelenggu lagi oleh persekusi rendahan yang mereka gencarkan lewat jari-jari buzzer laknat.
Di satu sisi, persekusi murahan mereka telah menjadi energi positif yang makin kencang mendorong para aktivis HTI hadir dan melebur bersama rakyat serta umat.
Justru lewat persekusi murahan mereka, semakin menunjukkan watak menzalimi yang menjadi ladang dan semaian subur untuk melahirkan kesadaran politik, kepekaan politik (wa'yu siyasi) meningkat, dan keseriusan masyarakat bergabung bersama HTI untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang lebih baik.
Satu hal penting yang sudah mereka ketahui adalah bahwa pengemban ideologi Islam tak pernah surut mundur selangkah pun. Kehidupan perjuangan aktivis HTI untuk memperbaiki kehidupan bernegara di Indonesia sama sekali tidak bergantung pada persekusi konyol mereka.
Mereka juga sadar betul bahwa nyawa, darah, tulang, dan daging perjuangan para aktivis HTI adalah iman dan keyakinan yang berakar pada ideologi Islam. Bahwa kekuatan, konsistensi, dan mesin perjuangan dakwah para aktivis HTI bergantung pada keyakinan ideologi Islam yang sudah mendarah daging dalam diri. Bahwa keyakinan dan keberanian yang tertanam dalam diri melebihi kekhawatiran hilangnya kekuasaan dan uang yang dikejar para buzzer laknat dan tuannya, Si Cungkring.
Karena keimanan, ketulusan, dan metode pergerakan dakwah yang santun, Allah merahmati para aktivis HTI dengan mudahnya memanen modal sosial berbasis keimanan (faith-based organization) yang mencerdaskan dan memikat manusia atas dasar kesadaran iman, bukan iming-iming harta kekayaan, kedudukan, jabatan, apalagi uang 100 ribu dan nasi bungkus.
Suka tidak suka, fakta menunjukkan bahwa aktivis HTI berhasil mengayomi, menuntun, dan menyadarkan pikiran banyak masyarakat sehingga muncul dorongan untuk melestarikan iman yang sama, kerinduan yang sama terhadap negara yang adil. Selangkah demi selangkah, HTI berhasil mengayuh, menguatkan eksistensinya, pikirannya, gagasannya, cita-citanya tertanam kuat di dada rakyat dan umat.
Si Cungkring yang telah kehilangan kuasa benar-benar salah menjadikan HTI sebagai hembusan isu kamuflase untuk menolong dirinya dari pembalasan kisah masa lalunya.
Si Cungkring salah tafsir. Dikiranya dia masih menggenggam kuasa sehingga dengan mudah bisa memainkan relasi kuasa tidak setara seperti yang dulu pernah dia lakukan terhadap HTI.
Justru permainan yang dia gelar makin membuka mata dan kesadaran masyarakat untuk mengerti bahwa apa yang sedang dilakukan adalah tontonan yang menyuguhkan seteru antara mantan diktator yang eksistensinya sedang terancam karena hendak dipenjara dengan pahlawan-pahlawan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Itulah kebenaran. Mau direkayasa, mau dipersekusi, mau dijatuhkan sebaik atau secanggih apa pun, dia akan tetap hidup dan tampil sebagai pemenang bersama para pengusungnya.
Kebenaran yang diusung dan diperjuangkan para aktivis HTI cepat atau lambat akan mengambil tempat sebagai pemenang yang menguasai pikiran dan hati masyarakat yang melek politik. Ingatlah, jangan lupa, bahwa tidak ada kekuasaan, kebohongan, dan kejahatan yang bisa eksis berdiri di atas pundak rakyat yang terzalimi atas nama diktator ala demokrasi.
Kediktatoran atas nama apa pun akan membuat dalang dan aktornya jauh lebih sakit ketika ia tumbang. Semakin diktator kekuasaan negara dioperasikan, semakin menumpuk kerapuhan yang puncaknya adalah keruntuhan, cacian, makian, kutukan, disebut Pinokio, pembohong, pendusta, bahkan akan dikejar-kejar ketakutan atas penghakiman masa lalu.
Si Cungkring dan para buzzer laknatnya, silakan saja terus berupaya memersekusi HTI atas nama Pancasila, UUD, dan demokrasi. Tapi ingatlah, itu tidak akan membuat masyarakat lupa tentang perilaku diktator Si Cungkring selama 10 tahun memimpin.
COMMENTS