Gedung ATR/BPN Kebakaran Ditengah Polemik Kasus Sertifikat Laut yang Kontroversial
Gedung ATR/BPN Kebakaran Ditengah Polemik Kasus Sertifikat Laut yang Kontroversial
Jakarta, 9 Februari 2025 – Pada Sabtu malam, 8 Februari 2025, sekitar pukul 23.09 WIB, kebakaran melanda Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang terletak di Jalan Sisingamangaraja No. 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Api diduga berasal dari lantai 1 gedung dan membakar sejumlah arsip penting. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Selatan menerima laporan insiden tersebut dan segera mengirimkan 80 personel dan 20 unit mobil pemadam yang tiba di lokasi pada pukul 23.17 WIB. Saat ini, penyebab kebakaran masih dalam penyelidikan, dan belum ada laporan mengenai korban jiwa. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, langsung mendatangi lokasi setelah menerima informasi terkait kejadian tersebut.
Di balik peristiwa ini, muncul sebuah dugaan yang mengaitkan kebakaran dengan masalah yang tengah menjadi sorotan, yakni sertifikat laut yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang. Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN mengambil langkah tegas dengan mencabut sejumlah sertifikat, di antaranya 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Tangerang. Meskipun sertifikat tersebut diterbitkan oleh kantor BPN setempat, ada dugaan bahwa penerbitannya tidak lepas dari koordinasi dan persetujuan pihak atasan di tingkat kementerian.
Dalam pandangan Ahmad Khozinudin, seorang advokat yang juga Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR), Khozinudin berpendapat bahwa kebakaran tersebut bisa jadi merupakan usaha untuk menghilangkan barang bukti, termasuk korespondensi yang terkait dengan proses persetujuan penerbitan sertifikat atas lahan di laut. Hal ini didasari pada fakta bahwa kebakaran tersebut terjadi di Gedung Humas Kementerian ATR/BPN, yang kemungkinan besar menyimpan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan proses administrasi dan sertifikasi tanah, termasuk tanah laut yang jadi sorotan.
Kasus sertifikat laut ini sendiri telah menjadi kontroversi, mengingat adanya proyek properti besar yang melibatkan nama-nama besar seperti Aguan dan Anthony Salim. Proyek yang dikenal dengan nama PIK-2 ini melibatkan reklamasi laut untuk pembangunan kawasan properti, yang diduga menjadi salah satu alasan di balik pengurusan sertifikat-sertifikat tanah di laut tersebut. Dalam hal ini, Khozinudin menilai bahwa ada kekhawatiran akan adanya upaya perlindungan terhadap para pelaku yang memiliki kepentingan bisnis besar di balik kasus ini, dan kebakaran gedung ATR/BPN bisa menjadi salah satu indikasi adanya upaya penghilangan jejak.
Khozinudin mengingatkan bahwa penyelesaian kasus ini tidak bisa diserahkan begitu saja hanya kepada pejabat atau lembaga yang terlibat. Dia menilai bahwa untuk mendapatkan hasil yang transparan dan kredibel, perlu ada tim independen yang berkompeten, yang terdiri dari berbagai pihak yang berkompeten dan tidak terafiliasi dengan kepentingan tertentu. Keberadaan tim independen ini penting untuk menjaga kepercayaan publik, mengingat proses hukum yang ada saat ini masih diragukan oleh banyak pihak.
Dia juga menambahkan bahwa masyarakat cenderung merasa khawatir jika kasus ini hanya akan diselesaikan dengan cara-cara yang bisa memperpanjang dan bahkan menyelamatkan kepentingan segelintir orang. Terlebih, setelah lebih dari tiga pekan berlalu tanpa ada penetapan tersangka dalam kasus pemagaran laut yang melibatkan sejumlah pihak, nama-nama seperti Mandor Memet, Eng Cun alias Gojali, serta Ali Hanafiah Lijaya yang diduga memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, semakin menguatkan kecurigaan publik akan adanya upaya perlindungan terhadap mereka.
Menghadapi situasi ini, Khozinudin mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto segera turun tangan dengan membentuk sebuah tim tugas (task force) yang beranggotakan para ahli di bidangnya masing-masing. Tim ini harus mampu bekerja secara independen, bebas dari tekanan politik atau kepentingan bisnis tertentu. Langkah ini dinilai sangat penting untuk memulihkan legitimasi penegakan hukum di Indonesia, agar masyarakat tidak merasa kecewa dengan proses hukum yang berjalan, yang sering dianggap hanya menjadi alat untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Dalam pandangan Khozinudin, upaya untuk mengungkap kebenaran dalam kasus sertifikat laut ini harus dilakukan dengan serius, dan Negara harus hadir dengan tegas untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. "Negara tidak boleh kalah dengan oligarki," tegas Khozinudin, sambil menyerukan agar penegakan hukum di Indonesia benar-benar menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan rakyat, bukan hanya segelintir pengusaha besar atau elit politik.
Kebakaran yang terjadi di Gedung ATR/BPN ini, meski merupakan peristiwa tragis, memberikan momentum bagi masyarakat dan pemerintah untuk membuka lebih dalam tabir praktik-praktik yang berpotensi merugikan kepentingan umum, terutama dalam hal pengelolaan tanah dan sertifikat, yang sering kali menjadi sumber konflik dan ketidakadilan.
COMMENTS