pajak barang mewah
Resmi, Pajak Naik Hanya Untuk Barang Mewah. Akankah Pendapatan Negara Optimal?
Diana Soepadi, A.Md. (Freelance Writer)
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% akhirnya resmi diberlakukan pada 1 Januari 2025, meskipun terbatas hanya untuk barang dan jasa mewah. Sebelumnya, rencana kenaikan ini mendapat gelombang penolakan yang cukup kuat di akhir tahun 2024. Petisi penolakan yang digalang oleh akun Bareng Warga bahkan telah mengumpulkan hampir 200 ribu tanda tangan hingga 25 Desember 2024.
Awalnya, kebijakan ini direncanakan mencakup semua barang dan jasa, tetapi desakan rakyat membuat pemerintah hanya memberlakukan kenaikan untuk kategori mewah. Barang dan jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%. Kebijakan ini diambil untuk menghindari dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan lainnya. Namun, muncul pertanyaan: benarkah kebijakan ini akan mengoptimalkan pendapatan negara?
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud memicu perdebatan mengenai kenaikan PPN 12%, tetapi ingin menyajikan perspektif dari sudut pandang yang berbeda.
Pajak: Dinasti Panjang yang Melahirkan Gejolak
Pajak di Indonesia sudah menjadi bagian dari "dinasti" panjang sejarah. Sejak masa kerajaan Hindu-Buddha, pajak sudah diterapkan, seperti yang tercatat dalam prasasti-prasasti kuno. Pada masa kolonial, pajak semakin diberlakukan secara sistematis untuk mendukung keuangan negara penjajah yang sedang mengalami krisis akibat perang.
Jenis pajak di masa kolonial sangat beragam, mulai dari penyerahan hasil bumi kepada VOC, tanam paksa, kerja paksa, hingga pajak tanah dan upah. Beban pajak yang berat kala itu memicu perlawanan rakyat, seperti Perang Jawa dan Perang Kamang, yang merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan sistem pajak kolonial.
Petisi Bareng Warga yang muncul pada akhir tahun lalu dapat dilihat sebagai bentuk keresahan modern terhadap kebijakan pajak. Jika keresahan ini tidak diatasi dengan kebijakan yang adil, bukan tidak mungkin dapat memicu gejolak serupa di masa lalu.
Pajak: Pilihan Tunggal Negara Kapitalis
Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara kapitalis cenderung mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan sering kali abai terhadap kebutuhan rakyat.
Di Indonesia, meskipun kaya akan sumber daya alam (SDA), pengelolaan SDA kerap diserahkan kepada pihak asing. Akibatnya, negara lebih mengandalkan pajak untuk menutupi defisit anggaran. Ironisnya, keringanan pajak justru lebih sering diberikan kepada pengusaha besar, sementara rakyat kecil dibebani berbagai pajak.
Multiple Choice Sumber Pendapatan Negara yang Optimal
Paradigma kapitalisme seolah membuat pajak menjadi satu-satunya pilihan. Namun, apakah benar tidak ada alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan pendapatan negara?
Mari kita tengok sistem pemerintahan Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) pada masa keemasannya. Sistem ini mampu menciptakan masyarakat yang makmur, bahagia, dan sejahtera. Kuncinya terletak pada penerapan hukum syariat Islam, yang mengatur ekonomi secara adil.
Dalam Islam, pajak bukan sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, pajak hanya menjadi solusi darurat ketika kas negara kosong. Sumber pendapatan utama berasal dari pengelolaan SDA, yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Beberapa sumber pendapatan tetap negara dalam Islam meliputi:
- Fai (anfal, ganimah, khumus)
- Jizyah
- Kharaj
- ‘Usyur
- Harta milik umum yang dikelola negara
- Harta haram dari pejabat atau pegawai negara
- Khumus rikaz dan tambang
- Harta orang tanpa ahli waris
- Harta orang yang murtad
Sistem ini menunjukkan bahwa pendapatan negara dapat bersifat multiple choice, tidak hanya bergantung pada pajak, tetapi berasal dari berbagai sumber yang terintegrasi dan adil.
Refleksi
Kekaguman terhadap sistem pemerintahan Islam, seperti yang diutarakan oleh Presiden Prabowo Subianto, hendaknya menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin. Dalam sabda Rasulullah saw.:
“Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.”
Wallahu’alam bish-shawab.
COMMENTS