bancakan program MBG
Program MBG, Jalan Ninja Tambah Investor
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan Peradaban
Indonesia sering disebut sebagai negara hukum, karena setiap kebijakan disahkan melalui aturan hukum meski sebenarnya hanya hasil dari kesepakatan. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono mengungkapkan bahwa 160 perusahaan berencana mengimpor 200 ribu sapi untuk memenuhi kebutuhan susu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemerintah pun telah menyelesaikan Peraturan Pemerintah (PP) yang mendukung program ini (CNN Indonesia, 14-1-2025).
Menurut Sudaryono, perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah juga akan memfasilitasi lahan peternakan guna mendukung impor tersebut. “Orang (investor) boleh dong bikin pabrik susu di Indonesia dengan sapinya didatangkan,” ujarnya. Selama impor berlangsung, menu susu pada program MBG akan diganti dengan sumber protein lain.
Namun, kekhawatiran banyak pihak terbukti. Baru beberapa hari berjalan, program ini sudah menuai berbagai persoalan, mulai dari menu yang dinilai tidak layak, keterlibatan TNI, peran UMKM, vendor katering untuk dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), hingga pegawai kantin sekolah yang kehilangan pelanggan. Bahkan, pendanaan program ini tidak lagi sepenuhnya mengandalkan APBN, melainkan mulai melirik dana zakat dan meminta sumbangan masyarakat.
Niatan Gratis, Jatuhnya Bancakan Proyek
Program MBG kini lebih terlihat seperti proyek komersial. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, kebijakan ini justru mematikan usaha kecil. Rencana impor sapi untuk memenuhi kebutuhan susu justru berpotensi melemahkan pasar lokal. Ada yang berpendapat bahwa program ini masih baru dan wajar jika terdapat masalah di awal, tetapi kebijakan MBG menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus kebutuhan dasar rakyat, khususnya pangan bergizi.
Pemerintah tampaknya tidak siap, meskipun program ini digadang-gadang sebagai Proyek Strategis Nasional di era kepemimpinan Prabowo. Program ini meniru negara-negara maju yang berhasil menjalankan kebijakan serupa, tetapi mengabaikan fakta bahwa ada pula negara yang gagal melaksanakannya. Penurunan harga paket dari Rp17.000 menjadi Rp10.000, serta pemotongan dana pendidikan dari APBN, semakin memperlihatkan bahwa kebijakan ini kurang matang.
Hanya Sistem Islam yang Memiliki Solusi Hakiki
Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."
(TQS An-Nisa: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa kita dilarang meninggalkan generasi yang lemah, baik secara fisik maupun psikis. Generasi adalah aset bangsa dan pelaku peradaban. Karena itu, pemenuhan kebutuhan gizi tidak cukup hanya melalui program tambal sulam seperti MBG. Solusi harus menyentuh akar masalah.
Negara harus memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan layak agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, seperti pangan, sandang, dan papan. Negara juga wajib mewujudkan ketahanan pangan dengan swasembada, tanpa ketergantungan impor. Selain itu, distribusi pangan harus menjangkau seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil, dengan membangun infrastruktur dan rantai pasok secara mandiri, tanpa melibatkan investor swasta atau asing.
Dalam sistem Islam, kebijakan seperti ini diterapkan secara revolusioner, bukan bertahap. Ketika membahas pangan, ini tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi, pendidikan, dan keamanan. Sistem ini telah terbukti selama lebih dari 1.300 tahun dalam naungan Khilafah Islamiyah, yang mencakup dua per tiga dunia.
Sebagaimana diungkapkan Will Durant, seorang sejarawan Barat, dalam bukunya The Story of Civilization:
"Para Khalifah telah memberikan keamanan yang luar biasa besar bagi kehidupan dan kerja keras manusia. Mereka juga menyediakan berbagai peluang dan kesejahteraan selama berabad-abad di wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti ini belum pernah tercatat setelah zaman mereka."
Wallahu a’lam bishawab.
COMMENTS