Pajak untuk pejabat
PPN: Pendapatan Pejabat Negara?!
Oleh: Riska Fadliah Angraini | Part of Smart with Islam
Kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12% semakin hangat diperbincangkan belakangan ini. Isu ini hampir selalu menjadi perdebatan di setiap periode kepemimpinan, mengingat pajak merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara, khususnya Indonesia. Namun, kenaikan PPN sebesar 12% ini telah menjadi keresahan tersendiri bagi rakyat. Meski Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kenaikan tersebut hanya berlaku untuk barang-barang tertentu, kebijakan ini tetap menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat menolak pengesahan kenaikan tersebut, karena secara tidak langsung akan semakin memperberat beban ekonomi, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Pada hakikatnya, pajak sering kali menjadi kegelisahan bagi banyak masyarakat Indonesia. Angka yang terus meningkat dari waktu ke waktu berdampak pada kondisi ekonomi hingga sosial masyarakat. Kenaikan PPN hingga 12% dianggap sebagai upaya yang justru menurunkan kualitas hidup masyarakat. Meski diterapkan pada barang-barang tertentu, khususnya barang berkualitas tinggi, kebijakan ini menekan kemampuan masyarakat untuk menikmati kelayakan hidup yang seharusnya menjadi hak mereka.
Lebih jauh lagi, sejarah pajak di Indonesia menyimpan banyak cerita kelam, termasuk kasus-kasus yang melibatkan pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai tulang punggung pendapatan negara, pajak berkontribusi sekitar 80–85% dari total pendapatan negara, sementara pendapatan nonpajak hanya sekitar 15–20%. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam justru sangat bergantung pada pajak dari rakyat, sedangkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam begitu kecil?
Fenomena kenaikan PPN ini tak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme, yang sering kali merugikan dan menyengsarakan rakyat. Sistem ini menjadikan rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah, sebagai sasaran empuk bagi para pemegang modal dan kekuasaan untuk meraup keuntungan. Menurut data dari Kementerian Keuangan RI, kebijakan pajak sering kali lebih membebani rakyat kecil, sementara kalangan elit dan investor asing cenderung terhindar dari dampaknya.
Dari perspektif Islam, sebagai sebuah ideologi yang komprehensif, syariat telah dengan tegas menjelaskan hukum pajak. Islam mengharamkan pungutan pajak kepada rakyat, karena secara faktual pajak merupakan bentuk kedzaliman. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk mengelola keuangan dan ekonomi dengan adil, termasuk pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Islam juga menegaskan bahwa seorang pemimpin berkewajiban menjaga dan menjamin penghidupan rakyatnya dengan menyediakan sandang, pangan, dan papan berkualitas terbaik. Negara tidak boleh memungut pajak dari rakyat, terlebih dalam angka yang mencekik seperti 12%. Hal ini hanya dapat terwujud jika pemimpin dan pejabat negara menjalankan amanah dengan penuh ketakwaan kepada Allah, sehingga mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan.
Referensi
- Kementerian Keuangan RI. "Data dan Informasi Pajak Nasional".
- Prabowo Subianto. Pernyataan Terkait Kenaikan PPN, 2025.
- Smart with Islam. "Kajian Ekonomi Islam dan Perspektif Pajak".
- Sejarah dan Dampak Pajak di Indonesia: Studi Kasus, 2024.
COMMENTS