PEMBANGUNAN PAGAR LAUT, SWADAYA APA SANDIWARA ?

Dalang Proyek pagar laut

PEMBANGUNAN PAGAR LAUT, SWADAYA APA SANDIWARA ?

Masyarakat mana, masyarakat siapa?

Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, Banten, membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer secara swadaya sebagai upaya mitigasi bencana tsunami dan abrasi di Pantai Utara. Koordinator JRP, Sandi Martapraja, pada Sabtu, 11 Januari 2025, menyatakan bahwa tanggul bambu tersebut merupakan inisiatif masyarakat setempat dan menjadi perhatian publik.

Proyek "pagar laut swadaya masyarakat" seharusnya mencerminkan kebersamaan dan gotong royong masyarakat luas. Namun, jika kenyataannya banyak nelayan yang merugi, klaim ini patut dipertanyakan. Apakah proyek ini benar-benar melibatkan seluruh masyarakat, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya?

---

Fakta Biaya: Benarkah Swadaya?

Rincian biaya untuk membangun pagar laut sepanjang 30 kilometer menunjukkan angka yang fantastis. Berikut adalah perhitungan mendalamnya:

• Bambu: Harga per batang (6 meter) sekitar Rp15.000. Diperlukan 15 batang bambu untuk 1 meter pagar.
  Biaya bambu per meter: Rp225.000.
• Papan catwalk: Sekitar Rp75.000 per meter.
• Material pendukung lainnya: Sekitar Rp20.000 per meter.

Total biaya material per meter: Rp320.000.

Jika pagar laut ini memiliki panjang 30.000 meter (30 kilometer), maka total biaya material saja adalah:
Rp320.000 x 30.000 meter = Rp9,6 MILIAR.

Tambahkan:

• Tenaga kerja (30%): Rp3 miliar.
• Transportasi, material tambahan, dan biaya lain-lain: Angka ini belum dihitung secara rinci tetapi diperkirakan mencapai miliaran rupiah.

TOTAL PERKIRAAN: Rp12,6 MILIAR.

Pertanyaan kritis:

1. Sumber dana: Jika ini benar-benar "swadaya masyarakat", dari mana masyarakat dapat mengumpulkan uang sebanyak itu?
2. Transparansi: Apakah proyek ini pernah diaudit? Apakah laporan keuangan atau sumber pendanaan proyek ini pernah dipublikasikan?
3. Kelanjutan proyek: Dengan biaya sebesar ini, bagaimana pemeliharaannya akan dikelola?

---

Nelayan yang Jadi Korban: Siapa yang Diuntungkan?

Pemasangan pagar laut sejauh 30 kilometer menimbulkan banyak masalah bagi para nelayan. Beberapa fakta yang ditemukan:

1. Akses laut terganggu:
   Nelayan kecil yang bergantung pada jalur laut tradisional kehilangan akses karena pagar menghalangi perahu mereka. Ini tidak hanya mempersulit mereka melaut, tetapi juga mengurangi area tangkapan ikan.

2. Kerugian finansial:
   Banyak nelayan melaporkan penurunan pendapatan signifikan karena pagar ini mengganggu rutinitas mereka. Dalam beberapa kasus, biaya operasional nelayan justru meningkat karena harus mencari jalur baru.

3. Kerusakan lingkungan:
   Pagar bambu dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Penanaman struktur ini berisiko merusak terumbu karang, habitat ikan, dan biota laut lainnya. Bukankah tujuan awal proyek ini untuk melindungi lingkungan?

---

Motivasi di Balik Proyek Ini

Pembangunan pagar sepanjang 30 kilometer jelas bukan sekadar proyek kecil. Motivasi di balik proyek ini perlu ditinjau lebih jauh:

• Apakah ini benar proyek lingkungan?
  Jika iya, mengapa masyarakat nelayan yang bergantung pada laut tidak dilibatkan sejak awal? Bukankah mereka pemangku kepentingan utama?

• Proyek gengsi pribadi?
  Dengan biaya fantastis dan panjang pagar yang mencakup banyak wilayah, proyek ini justru terlihat seperti proyek ambisius yang lebih mementingkan pencitraan dibandingkan keberlanjutan atau manfaat nyata bagi masyarakat.

• Transparansi minim:
  Tanpa adanya audit terbuka atau laporan keuangan yang jelas, sulit untuk meyakini bahwa proyek ini benar-benar dilakukan demi kepentingan bersama.

---

Gotong Royong atau Kepentingan Segelintir Orang?

Jika benar proyek ini dilaksanakan atas nama "swadaya masyarakat", mengapa masyarakat kecil seperti nelayan justru menjadi korban?

• Masyarakat dirugikan: Nelayan kehilangan sumber penghidupan utama.
• Kepentingan kelompok kecil: Jika hanya segelintir orang yang memperoleh keuntungan dari proyek ini, maka klaim "swadaya masyarakat" hanyalah slogan kosong.

Menurut Ahmad Khozinudin SH, bahwa Berdasarkan informasi dari lapangan, proyek pemagaran laut ini dilaksanakan oleh Memet, warga Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Memet bekerja atas perintah Gojali alias Engcun, seorang tokoh terkenal di kalangan mafia tanah yang menjadi bagian dari kelompok yang bekerja untuk Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan taipan properti Aguan. Pagar laut ini diduga kuat berkaitan langsung dengan proyek reklamasi dan pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK)-2 milik Aguan dan Anthony Salim.  (Dalang dibalik Pagar Laut)

---

Penutup: Transparansi Adalah Kunci

Proyek seperti ini harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara menyeluruh dan mempertimbangkan dampaknya. Transparansi anggaran, tujuan proyek, dan pelibatan masyarakat luas adalah hal yang wajib. Jika tidak, "pagar laut swadaya masyarakat" hanyalah sebuah sandiwara yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil demi ambisi segelintir orang.