Pajak Beban Rakyat
Pajak Oh Pajak, Sungguh Mencekik Rakyat
Oleh: Halimah
Penolakan masyarakat terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% semakin meluas. Sebanyak 197.753 orang telah menandatangani petisi untuk menolak kenaikan tersebut. Inisiator petisi menyatakan bahwa kebijakan ini hanya akan menambah kesulitan rakyat, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk. (CNNIndonesia.com, 28/12/24)
Meski banyak penolakan, pemerintah tetap bergeming dan menerapkan kebijakan ini dengan alasan untuk menambah pendapatan negara. Seperti diketahui, negara-negara dengan sistem kapitalisme, termasuk Indonesia, menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama, terutama Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Oleh karena itu, pajak dianggap sebagai suatu keharusan.
Banyak rakyat dipaksa menanggung beban pajak. Suka atau tidak, mereka harus mengikuti kebijakan pemerintah meskipun kondisi ekonomi sedang pas-pasan, bahkan terpuruk. Pemerintah bahkan memberikan ancaman kepada masyarakat yang terlambat atau tidak membayar pajak. Dalam sistem demokrasi kapitalis ini, tidak ada ampun. Pajak dijadikan alat eksploitasi demi kepentingan pemilik modal dan birokrat. Rakyat terus dipaksa membayar pajak, seperti Pajak Bumi Bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor, dan PPN. Akibatnya, rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan wajib sebagai konsekuensi menjadi warga negara.
Kondisi ini memicu banyak pengusaha melakukan manipulasi pajak, seperti mengurangi nilai pajak, menyuap petugas, memalsukan laporan keuangan, hingga menyembunyikan kekayaan di luar negeri yang memiliki pajak rendah dan menjamin kerahasiaan. Ironisnya, mereka sering diberi kelonggaran atau bahkan pengampunan pajak (tax amnesty). Sungguh miris!
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang Muslim, maka Allah akan memberi kemudharatan kepadanya. Barangsiapa yang menyusahkan seorang Muslim, maka Allah akan menyusahkan dia.” (HR. Abu Dawud No. 3635, At-Tirmidzi No. 1940)
Berbeda dalam Islam, pajak atau dharibah hanya dianggap sebagai alternatif sumber pendapatan negara dalam kondisi tertentu, misalnya saat negara menghadapi masa sulit atau paceklik, ketika tidak ada pemasukan ke dalam kas negara (baitul mal). Pajak hanya dikenakan kepada orang kaya yang bersedia memberi secara ikhlas dan tanpa paksaan.
Pendapatan negara dalam Islam bersumber dari:
- Harta rampasan perang (anfal, ghanimah, fai, dan khumus) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil." (QS. Al-Anfal: 41).
- Pungutan dari tanah berstatus kharaj.
- Jizyah (pungutan dari non-Muslim yang tinggal di negara Islam) sebagaimana firman Allah, "Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah: 29).
- Harta milik umum, seperti tambang dan sumber daya alam, yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
- Harta milik negara.
- Usyur (pungutan dari perdagangan luar negeri).
- Harta tidak sah para penguasa atau pegawai negara sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
"Barangsiapa yang kami angkat menjadi pegawai atas suatu pekerjaan, maka apa yang ia ambil di luar dari upahnya adalah haram." (HR. Abu Dawud No. 2943). - Barang tambang dan barang temuan.
- Sisa pembagian warisan.
- Harta orang murtad.
- Dharibah dan zakat sebagai kewajiban umat Islam.
Dengan sistem politik dan ekonomi Islam, khilafah mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Islam menetapkan penguasa sebagai ra’in (pelindung) dan junnah (pelindung masyarakat), serta mengharamkan penguasa melakukan korupsi. Kewajiban penguasa adalah mengelola harta milik umum untuk dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas dan layanan umum yang mudah diakses oleh rakyat.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus." (HR. Al-Bukhari No. 893, Muslim No. 1829).
Wallahu a'lam bishawab.
COMMENTS