pencabutan pagar laut
Pagar Laut Dibongkar, Publik Jangan Terburu-buru Puas
Catatan Kritis Diskusi Indonesia Lawyers Club, 22 Januari 2025
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat dan Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR)
Saat membuka paparannya dalam diskusi ILC (Indonesia Lawyers Club) pada Rabu, 22 Januari 2025, Ahmad Khozinudin menyampaikan apresiasi terhadap upaya pemerintah membongkar pagar laut PIK-2. Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah prestasi. Sebaliknya, pembongkaran ini justru mengonfirmasi lemahnya negara dalam melawan kekuatan oligarki.
“Apresiasi patut diberikan karena negara mulai hadir kembali di tengah rakyat, meski dalam peran kecil. Namun, tindakan ini hanya sebatas mengembalikan ruang publik laut sebagai hak bersama (public property),” ungkapnya.
Ahmad menyoroti minimnya progres dalam pembongkaran. Dari total panjang pagar laut 30,16 kilometer, baru kurang dari 2 kilometer yang dibongkar. Proses pembongkaran pun dilakukan secara manual, bukan menggunakan alat berat seperti ekskavator yang sesuai dengan alat pemasangan pagar tersebut.
Kehadiran Negara yang Terlambat
Menurut Ahmad, negara seharusnya hadir lebih awal untuk mencegah pembangunan pagar laut sejak panjangnya hanya beberapa meter, bukan saat sudah mencapai puluhan kilometer. “Jika negara hadir sejak awal, publik pasti mengapresiasi. Namun kini, pemerintah justru terlihat seperti petugas pemadam kebakaran, yang bertindak hanya setelah api kemarahan rakyat menjalar luas,” kritiknya.
Ia juga menyinggung bahwa misteri seputar pagar laut PIK-2 masih belum terungkap. Pertanyaan mengenai siapa pembangun, pendana, hingga tujuan pembangunan pagar laut tersebut tak pernah dijawab dengan jelas. Informasi yang beredar di masyarakat menyebut nama-nama seperti Mandor Memet, Eng Cun alias Gojali, Ali Hanafiah Lijaya, hingga pengusaha besar Aguan. Namun, pemerintah justru lebih sibuk merespons klaim-klaim tak berdasar yang menyebut pagar ini dibangun oleh masyarakat secara swadaya.
Masalah Sertifikat yang Tidak Transparan
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid memang telah mengumumkan pembatalan sejumlah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut. Namun, pengumuman tersebut dinilai tidak transparan. Dari total 263 HGB dan 17 SHM yang disebut, tidak dijelaskan berapa yang telah dibatalkan dan berapa yang masih diselamatkan dengan dalih berada dalam garis pantai.
Ahmad mengkhawatirkan skenario penyelamatan kepentingan oligarki di balik langkah ini. Ia mencurigai pemerintah hanya membongkar sertifikat di wilayah tertentu, yakni Desa Kohod, Kecamatan Paku Haji, tanpa menyentuh wilayah lain yang juga terkena dampak pagar laut sepanjang 30,16 kilometer, seperti Desa Dadap, Desa Muara, Desa Tanjung Burung, hingga Desa Ketapang.
“Jika semua wilayah diperiksa, bisa jadi masih ada ribuan sertifikat lainnya di atas laut. Kenapa pemerintah hanya fokus di satu desa? Kenapa tidak membongkar semuanya?” tanyanya.
Tuntutan Audit dan Penindakan Tegas
Ahmad menegaskan bahwa kasus pagar laut PIK-2 mengindikasikan adanya kolusi yang terstruktur, sistematis, dan masif, mulai dari tingkat desa hingga kementerian. Untuk itu, ia mendesak pemerintah segera menghentikan seluruh proyek PIK-2, baik yang berada dalam kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) seluas 1.755 hektare, maupun di luar PSN.
Selain itu, ia juga menuntut:
- Audit menyeluruh terhadap proyek PIK-2, termasuk kinerja, keuangan, dan aspek hukum.
- Penangkapan pihak-pihak yang diduga terlibat, seperti Mandor Memet, Eng Cun, Ali Hanafiah Lijaya, Aguan, dan Anthony Salim.
- Pemecatan dan pemidanaan pejabat yang terbukti terlibat dalam skandal ini.
“Negara harus menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada oligarki. Jangan sampai kedaulatan laut yang merupakan hak publik dijual untuk kepentingan segelintir orang,” tegas Ahmad.
Ia juga mengingatkan bahwa selain di wilayah laut, pelanggaran besar terjadi di daratan proyek PIK-2. Fasilitas publik seperti sungai, jalan, dan jembatan dikuasai secara sewenang-wenang. Bahkan, intimidasi, ancaman, hingga kriminalisasi digunakan untuk memuluskan proyek tersebut.
“Jika pemerintah tidak segera bertindak, jangan heran jika publik menilai negara kalah melawan oligarki. Malu kalau NKRI berubah menjadi NKRA – Negara Kesatuan Republik Aguan!” pungkasnya.
Referensi:
Diskusi Indonesia Lawyers Club, 22 Januari 2025, dengan narasumber Ahmad Khozinudin, S.H.
COMMENTS