pajak sistem pemalak
Kenaikan Tarif Pajak, Kapitalisme Sistem Pemalak
Oleh: Ummu Habibi (Muslimah Peduli Generasi)
Pergantian tahun kali ini kembali diawali dengan kebijakan pahit dari pemerintah. Pemerintah memberikan "hadiah" awal 2025 berupa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Berbagai alasan dikemukakan, seperti memperkuat penerimaan negara, mendukung pembiayaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, program sosial, menekan defisit anggaran pasca-COVID-19, mengurangi utang luar negeri, hingga menyesuaikan standar internasional. Pemerintah berdalih bahwa negara-negara maju memiliki tarif PPN rata-rata sebesar 15%.
Namun, di tengah gelombang penolakan masyarakat, pemerintah tetap melaksanakan mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPN 12% mulai berlaku pada 1 Januari 2025, tetapi hanya diberlakukan untuk barang dan jasa yang dianggap mewah atau premium.
Untuk meredam dampak kenaikan ini, Presiden memaparkan stimulus berupa bantuan senilai Rp38,6 triliun. Stimulus ini mencakup bantuan beras sebanyak 10 kilogram untuk 16 juta penerima selama dua bulan (Januari-Februari 2025) serta diskon listrik 50% bagi pelanggan rumah tangga dengan daya 2.200 VA selama periode yang sama.
Namun, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. M. Rizal Taufikurahman, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak luas pada berbagai sektor barang dan jasa. Dampaknya dapat menurunkan daya beli masyarakat dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun pemerintah menyatakan kenaikan hanya berlaku untuk barang mewah, pelaku usaha sering kali sulit menerjemahkannya, sehingga harga barang di berbagai sektor ikut meningkat.
Secara logis, produsen barang yang mulai memproduksi kebutuhan Januari sejak Desember, telah menghitung harga dengan tarif PPN 12%. Akibatnya, harga jual kepada konsumen pun naik. Fenomena ini sudah terlihat, misalnya melalui struk belanja air mineral dengan PPN 12% yang viral di media.
Meskipun PPN hanya naik 1%, dampaknya terasa signifikan di semua sektor. Secara kalkulasi, PPN menjadi sumber penerimaan negara yang paling cepat dibandingkan pendapatan dari sumber daya alam yang membutuhkan teknologi dan investasi. Namun, kebijakan ini memperlihatkan bahwa pemerintah mengambil risiko tinggi dengan menjadikan rakyat sebagai taruhannya. Ironisnya, kelompok orang kaya justru mendapatkan insentif berupa tax holiday.
Pajak sebagai Tulang Punggung Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak adalah tulang punggung pendapatan negara. Oleh karena itu, penguasa seringkali memburu rakyat dengan berbagai pungutan, mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hingga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pemerintah juga sering membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara lain yang lebih tinggi. Namun, kenyataannya, tarif PPN 12% di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN, melebihi Singapura yang hanya menetapkan PPN 8%.
Dengan penerimaan pajak yang mencapai 82,4% dari total penerimaan negara, sulit menerima alasan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara. Faktanya, kebijakan ini justru semakin memberatkan rakyat kecil.
Kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme sejatinya merupakan "pemalakan" terhadap rakyat atas nama pembangunan negara. Pajak tidak memperhatikan kondisi rakyat, bahkan kaum fakir miskin pun tidak luput dari beban ini. Ironisnya, kebijakan pajak sering memberikan keringanan kepada pengusaha besar dengan alasan meningkatkan investasi. Namun, klaim bahwa investasi membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat kerap tidak sesuai realitas.
Stimulus yang Bersifat Jangka Pendek
Stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah hanya bersifat jangka pendek, seperti diskon listrik yang berlaku dua bulan atau bantuan beras yang hanya cukup untuk kebutuhan sesaat. Setelah itu, masyarakat harus kembali menghadapi beban ekonomi yang semakin berat, terutama saat menjelang Ramadan dan hari raya.
Meskipun bahan pokok dikecualikan dari kenaikan PPN 12%, efek domino dari kenaikan ini tidak bisa dihindari. Harga-harga bahan pokok cenderung naik untuk menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran pelaku usaha.
Pajak Dalam Islam
Dalam Islam, pajak (dharibah) adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum Muslim hanya dalam kondisi tertentu, yaitu ketika kas negara (baitulmal) kosong. Pajak ini bersifat insidental dan hanya diambil dari orang kaya yang memiliki kelebihan harta. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang memberlakukan pajak secara menyeluruh.
Rasulullah saw. melarang pemungutan pajak secara tidak adil. Beliau bersabda, "Tidak masuk surga pemungut cukai (maks)" (HR Ahmad). Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan tetap negara, melainkan langkah darurat untuk membiayai kebutuhan umat.
Ada tiga prinsip utama terkait pajak dalam Islam:
- Pajak hanya dipungut dalam kondisi darurat. Pajak hanya diambil saat kas baitulmal kosong untuk kebutuhan yang wajib, seperti pembiayaan jihad, nafkah fakir miskin, atau tanggap bencana.
- Pajak hanya dibebankan kepada orang kaya. Pajak tidak dikenakan kepada warga miskin. Hal ini sesuai firman Allah Swt. dalam QS Al-Baqarah: 219, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, yang lebih dari keperluan.”
- Pajak hanya untuk kebutuhan wajib syariat. Pemerintah tidak diperbolehkan memungut pajak untuk kebutuhan yang tidak mendesak, seperti pembangunan infrastruktur tambahan yang tidak darurat.
Islam: Solusi untuk Kesejahteraan Rakyat
Islam memberikan solusi yang adil dan amanah dalam mengelola pajak. Dalam sistem Islam, pemimpin bertanggung jawab untuk meringankan beban rakyat, bukan memberatkan mereka. Pajak tidak menjadi instrumen eksploitasi, melainkan bentuk kontribusi umat untuk kepentingan bersama sesuai syariat.
Rasulullah saw. bersabda, "Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya." (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahualam bissawab.
COMMENTS