pajak produk kapitalisme
Kenaikan PPN 12%: Konsekuensi Sistem Kapitalis
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% masih jadi perbincangan hangat hingga hari ini. Pasalnya, masyarakat menganggap bahwa kebijakan ini akan semakin memberatkan rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Mengutip dari bisnis.com, (05 Januari 2025), pemerintah resmi memberlakukan PPN 12% usai mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024. Berdasarkan beleid itu, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.
Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12.
Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.
Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:
- 12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
- 12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi)
Alasan Kenaikan PPN
Mengutip dari finance.hemat.id (06/12/24), Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan pada saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI pada bulan November lalu menjelaskan bahwa penerapan kebijakan kenaikan PPN 12% adalah berdasarkan UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selain itu, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian juga menyampaikan bahwa kebijakan kenaikan PPN 12% akan berlaku berdasarkan beberapa alasan yaitu:
- Untuk meningkatkan pendapatan negara. PPN adalah salah satu sumber penerimaan dana negara, yang memiliki peranan penting untuk program pemerintah.
- Memperbaiki anggaran pemerintah. Kebutuhan pendanaan semakin meningkat terutama pasca pandemi COVID-19, sehingga kenaikan PPN mampu memperbaiki kondisi fiskal negara.
- Mengurangi ketergantungan penggunaan utang luar negeri. Dengan meningkatkan pajak, harapannya bisa menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
- Menyesuaikan standar PPN internasional.
Berbagai alasan di atas menunjukkan bahwa kenaikan PPN merupakan salah satu konsekuensi dalam sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Mirisnya, pajak yang diambil dari rakyat banyak digunakan untuk kepentingan segelintir pihak.
Oleh karena itu, menyikapi fakta kebijakan pemerintah yang menaikkan PPN, tidak cukup hanya dengan penolakan kenaikan PPN saja. Tapi harus dibarengi dengan penolakan penerapan sistem kapitalis. Sebab sistem inilah yang menyebabkan rakyat terus dibebani dengan pajak. Lantas kalau bukan dengan sistem kapitalis, maka dengan sistem apa?
Pajak dalam Pandangan Islam
Islam merupakan aturan yang lengkap dan sempurna. Untuk mengatur masalah ekonomi negara saja, Islam menetapkan berbagai macam sumber pemasukan negara. Dalam An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pemasukan tetap baitulmal adalah fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat.
Selain mengatur masalah pemasukan negara, Islam juga mengatur bagaimana pengeluaran negara. Semisal untuk pemasukan dari harta zakat, wajib diletakkan di bagian khusus baitulmal. Sebab Islam menetapkan bahwa harta zakat tidak boleh diberikan selain untuk delapan ashnaf (golongan) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an. Maka tidak boleh sedikit pun dari harta zakat tersebut diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara maupun urusan umat.
Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum, juga diletakkan di bagian khusus baitulmal dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab, harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslim yang diberikan oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslim yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum syara'.
Adapun terkait pajak (dharibah), Islam menetapkan bahwa tidak boleh mengambilnya dari masyarakat kecuali dalam keadaan kas baitulmal kosong. Pajak juga tidak diambil dari semua rakyat. Namun, hanya dibebankan kepada mereka yang kaya saja. Harta yang diambil dari pajak digunakan untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Untuk kebutuhan para fakir miskin, ibnu sabil, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad.
- Untuk gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya.
- Untuk pembukaan jalan, penggalian air, pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, serta urusan-urusan lain yang dianggap sebagai masalah yang urgen dan umat akan menderita tanpa kehadirannya.
- Untuk memenuhi kebutuhan di masa paceklik, angin topan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja yang menimpa kaum muslim.
Dengan demikian, pajak diambil hanya ketika kas negara (baitulmal) benar-benar kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitulmal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak di sistem kapitalisme.
Demikianlah, Islam memberikan gambaran bagaimana mengatur permasalahan ekonomi negara. Islam mengatur masalah pemasukan dan pengeluaran negara dengan sangat detil. Tidak ada pungutan pajak, kecuali kas baitulmal kosong. Itu pun hanya diambil dari orang kaya saja. Aturan seperti ini jelas akan memberikan keadilan, dan kesejahteraan untuk semua rakyat.
COMMENTS