Isu Sunni Syi'ah
Isu Sunni-Syi'ah: Antara Perpecahan Umat dan Agenda Geopolitik Global
Pada awal tahun 1980-an, terdapat berbagai insiden yang melibatkan kelompok jihad dan Syi'ah di Indonesia, salah satunya adalah kasus pemboman Candi Borobudur pada 1985. Meskipun keterlibatan Syi'ah dalam peristiwa ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, inspirasi revolusi Iran tahun 1979 di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini memang memiliki pengaruh signifikan di dunia Islam, termasuk pada kelompok-kelompok yang mendukung gerakan revolusioner.
Revolusi Iran tidak hanya mengubah lanskap politik domestik Iran tetapi juga mengguncang negara-negara di kawasan, khususnya Arab Saudi. Kekhawatiran Saudi terhadap ekspansi ideologi revolusi Iran di kawasan Timur Tengah menyebabkan Riyadh mengambil langkah strategis. Salah satunya adalah penyebaran literatur anti-Syi'ah ke negara-negara mayoritas Muslim melalui pendanaan lembaga pendidikan, pembangunan masjid, dan penerbitan buku.
Setelah Runtuhnya Kekhilafahan
Kekhilafahan Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924, meninggalkan kekosongan geopolitik di dunia Islam. Selama beberapa dekade setelahnya, ketegangan antara Sunni dan Syi'ah relatif mereda. Namun, Revolusi Iran membangkitkan sentimen sektarian karena Iran, sebagai negara dengan mayoritas Syi'ah, mulai memproyeksikan pengaruhnya melalui dukungan terhadap kelompok-kelompok Syi'ah di Timur Tengah.
Arab Saudi melihat hal ini sebagai ancaman terhadap dominasi ideologi Wahhabi yang menjadi fondasi negara tersebut. Dalam konteks ini, isu Sunni-Syi'ah bukan sekadar persoalan agama, tetapi juga persaingan politik dan geopolitik antara Iran dan Saudi yang merepresentasikan dua kubu besar di kawasan.
Kasus Irak: Politik Pecah Belah Amerika Serikat
Invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003 menjadi titik balik dalam memperuncing ketegangan Sunni-Syi'ah. Sebelum invasi, Irak di bawah Saddam Hussein meskipun didominasi oleh pemerintahan Sunni, relatif stabil dalam menjaga hubungan antar-sekte. Namun, strategi "divide and conquer" (pecah belah dan kuasai) yang diterapkan Amerika Serikat pasca-invasi memperburuk hubungan antar kelompok. Pembentukan pemerintahan baru yang didominasi oleh Syi'ah membuat kelompok Sunni merasa termarginalkan, memicu konflik sektarian.
Tokoh-tokoh ekstremis seperti Abu Musab al-Zarqawi memainkan peran dalam meningkatkan ketegangan dengan melakukan serangkaian serangan terhadap komunitas Syi'ah. Namun, tindakan Zarqawi bahkan dikritik oleh rekan-rekannya seperti Abu Muhammad al-Maqdisi, mentor ideologisnya, serta Al-Qaeda secara umum. Kritik ini berakar pada pandangan bahwa memprioritaskan perang sektarian akan melemahkan fokus utama, yakni melawan Amerika Serikat dan sekutunya.
Politik Sektarian sebagai Alat Hegemoni
Isu Sunni-Syi'ah pada dasarnya lebih banyak dipolitisasi oleh kekuatan regional dan internasional untuk mempertahankan dominasi di kawasan. Arab Saudi dan Iran menggunakan retorika sektarian untuk memperluas pengaruh geopolitik mereka. Sementara itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat juga mengeksploitasi perpecahan ini untuk memajukan agenda politik dan ekonominya.
Dalam konteks global, isu sektarian ini menjadi instrumen bagi berbagai aktor untuk mempertahankan hegemoni dan mengontrol sumber daya strategis di Timur Tengah. Sebagai contoh, dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok Syi'ah di Lebanon, Suriah, dan Yaman sering dilihat sebagai upaya untuk memperkuat posisi geopolitiknya. Sebaliknya, dukungan Saudi terhadap kelompok-kelompok Sunni sering digunakan untuk menandingi pengaruh Iran.
Menghambat Persatuan Islam dan Khilafah
Selain sebagai alat geopolitik, isu Sunni-Syi'ah juga digunakan untuk menghambat persatuan umat Islam secara global. Perpecahan sektarian ini menjadi penghalang dalam membangun solidaritas di antara umat Islam, khususnya dalam upaya menegakkan kembali institusi Islam global, yaitu khilafah. Tegaknya kembali khilafah ini telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis:
"Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian." (HR. Ahmad No. 18430, al-Bazzar, dan Abu Dawud al-Thayalisi)
Hadis ini menjadi landasan keyakinan bahwa umat Islam akan kembali dipersatukan di bawah satu kepemimpinan global yang adil dan berdasarkan syariat. Namun, kekuatan regional dan global sering memanfaatkan isu sektarian untuk membendung kemungkinan ini dengan menanamkan kebencian dan permusuhan di antara kelompok-kelompok Islam.
Kesimpulan
Isu Sunni-Syi'ah lebih dari sekadar perbedaan teologis; ia merupakan alat politik yang digunakan oleh berbagai negara untuk mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka. Sejarah menunjukkan bahwa konflik ini sering kali dipicu oleh kepentingan geopolitik, bukan oleh semata-mata perbedaan keyakinan agama. Memahami dimensi politik dari konflik ini adalah langkah penting untuk mencari solusi yang lebih inklusif dan damai bagi dunia Islam.
Analis Global | Geopolitik | trenopini
Referensi
- Nasr, Vali. The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future. W. W. Norton & Company, 2006.
- Cockburn, Patrick. The Rise of Islamic State: ISIS and the New Sunni Revolution. Verso Books, 2015.
- Tripp, Charles. A History of Iraq. Cambridge University Press, 2002.
- Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality?. Oxford University Press, 1999.
- Khomeini, Ruhollah. Islamic Government: Governance of the Jurist. Alhoda UK, 1981.
- Kepel, Gilles. Jihad: The Trail of Political Islam. Harvard University Press, 2002.
- Gerges, Fawaz A. ISIS: A History. Princeton University Press, 2016.
- Al-Maqdisi, Abu Muhammad. The Critique of Zarqawi's Tactics. Various online translations and analyses.
- Wright, Robin. Sacred Rage: The Wrath of Militant Islam. Simon and Schuster, 2001.
- Gause, F. Gregory III. Saudi Arabia and the Gulf Arab States. Council on Foreign Relations, 2010.
COMMENTS