Mengelola Konflik
MENGELOLA KONFLIK: UMPAN PANCING BANG TAQIM
Di sudut sebuah warung kopi kecil di Bekasi, Taqim duduk di depan Bang Farid, sosok filsuf lokal yang dijuluki Faridtoteles. Malam itu, mereka berbincang santai, ditemani aroma kopi hitam dan suara kendaraan yang lalu lalang di kejauhan. Topik diskusi mereka? Konflik.
"Bener gak sih, Bang, kalau konflik itu gak pernah bisa selesai?" Taqim membuka percakapan sambil menyesap kopinya.
Farid menghela napas panjang, lalu tersenyum bijak. "Tergantung, Kim. Konflik itu kayak mancing. Pemancing lempar umpan, kalau ikannya makan, mereka senang. Tapi kalau umpannya dianggurin, lama-lama mereka yang kesel sendiri."
Taqim terdiam sejenak. Filosofi sederhana itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Dulu, dia adalah sosok yang sangat reaktif. Setiap komentar miring, sindiran, atau kritik terasa seperti serangan langsung ke jantungnya. Tidak peduli di dunia nyata atau di media sosial, Taqim selalu membalas dengan sengit.
"Gw dulu tuh, Bang, gampang banget kepancing. Kayak ikan yang lapar," ujar Taqim dengan nada menyesal. "Apalagi soal komunitas KATRO. Rasanya, semua kritik ke komunitas itu kayak penghinaan pribadi buat gw."
Farid tertawa kecil. "Makanya, Kim, lu harus belajar jadi ikan yang pintar. Gak semua umpan itu layak dimakan. Kadang, diam itu adalah respons terbaik."
Namun, untuk Taqim, mempraktikkan nasihat itu tidak semudah kedengarannya. Setiap kali dia mencoba menahan diri, ada saja hal yang memicu emosinya kembali. Komentar pedas tentang dirinya atau komunitas Kajian Trotoar (KATRO) yang dia dirikan bersama teman-temannya, sering kali membuatnya ingin balas bicara.
"Bayangin aja, Bang," kata Taqim sambil menggeleng. "Mereka bilang KATRO itu komunitas kacangan, gak punya ideologi, gak ada arah. Bahkan gw sendiri dibilang pemuda bermasalah. Ya siapa yang gak panas, coba?"
Farid menatap Taqim dengan tenang. "Ya wajar sih lu kesel, Kim. Tapi inget, mereka cuma mancing. Kalau lu terus-terusan makan umpan, lu capek sendiri. Sedangkan mereka? Mereka malah makin puas."
Nasihat itu perlahan mengubah cara pandang Taqim. Dia mulai belajar untuk tidak bereaksi pada setiap komentar atau kritik. Salah satu langkah yang dia ambil adalah membersihkan media sosialnya. Akun-akun yang sering memancing emosinya, dia unfollow. Nomor-nomor yang sering menyebar provokasi, dia hapus dari kontaknya.
"Gw jadi lebih tenang sih, Bang, sejak gw gak liat lagi tuh umpan-umpan mereka. Tapi, kadang gw merasa kayak pengecut. Gimana dong?"
Farid menggeleng pelan. "Itu bukan pengecut, Kim. Itu namanya menjaga fokus. Kalau lu terus sibuk merespons kritik, kapan lu sempat ngurus tujuan lu sendiri? Fokus lu kan dakwah, bukan debat."
Taqim mulai memahami filosofi itu. Kini, ketika mendengar kritik tentang dirinya atau KATRO, dia tidak lagi membalas dengan kemarahan. Sebaliknya, dia hanya tersenyum dan berkata, "Alhamdulillah."
"Kalau kritiknya benar, itu masukan buat kita. Kalau salah, ya jatuhnya fitnah. Fitnah itu dosa buat mereka, bukan buat kita," ujar Taqim dengan nada lebih santai.
Namun, perubahan itu tidak selalu mulus. Ada kalanya Taqim merasa ingin kembali "makan umpan". Apalagi ketika kritik yang datang begitu personal dan menyakitkan.
"Kadang, Bang, gw pengen banget ngetik balasan pedes. Tapi sebelum gw kirim, gw ingat kata-kata lu. Gw pikir, kalau gw balas, malah makin panjang konfliknya. Jadi ya udah, gw hapus lagi," cerita Taqim sambil tersenyum.
Farid menepuk pundak Taqim. "Nah, itu baru namanya kemajuan, Kim. Konflik itu sebenarnya gak pernah habis. Pemancing akan terus melempar umpan. Tapi kalau lu fokus pada tujuan lu, lama-lama mereka capek sendiri."
Sekarang, Taqim telah berubah menjadi sosok yang lebih bijaksana. Kritik dan sindiran tidak lagi menjadi bahan bakar amarahnya. Sebaliknya, dia menjadikannya motivasi untuk bekerja lebih baik. Filosofi "umpan dan ikan" dari Faridtoteles kini menjadi pegangan hidupnya.
"Gw sadar sekarang, Bang," kata Taqim suatu hari. "Konflik itu memang gak bisa dihindari. Tapi kita punya pilihan: mau memelihara konflik itu, atau membiarkannya mati dengan sendirinya."
Farid mengangguk setuju. "Betul, Kim. Diam bukan berarti kalah. Kadang, diam itu adalah kemenangan paling elegan."
Malam itu, Taqim pulang dengan hati yang lebih ringan. Dia tahu, perjalanan ini masih panjang. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak akan lagi menjadi ikan yang sembarangan makan umpan. Kini, dia adalah ikan yang tenang, fokus pada arus yang membawa ke tujuan hidupnya.
Sumber : fb Mustaqim Aziz
COMMENTS