Israel, Puncak Hermon, Dataran Tinggi Golan, Suriah, HTS, SNA, Turki, Keamanan Israel
Israel Menguasai Puncak Hermon: Apa yang Terjadi dengan Oposisi Suriah?
Israel telah berhasil menguasai wilayah strategis di Dataran Tinggi Golan, khususnya Puncak Hermon, yang menjadi simbol kekuatan dan kontrol atas kawasan tersebut. Puncak Hermon, titik tertinggi di Suriah, selama ini telah menjadi zona penyangga antara kontrol Suriah dan Israel yang telah berlangsung sejak 1974, dengan kesepakatan pembagian wilayah di bawah pengawasan PBB. Namun, pada 10 Desember 2024, Israel tanpa perlawanan berhasil menduduki bukit ini, menandakan perubahan besar dalam dinamika geopolitik kawasan.
Keamanan dan Strategi Israel di Golan
Puncak Hermon memiliki nilai strategis yang sangat penting. Dengan menguasai area ini, Israel memperoleh kemampuan untuk mengamati dan mengendalikan seluruh wilayah selatan Suriah yang berbatasan dengan Lebanon. Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah ini digunakan untuk memantau dan mencegah serangan dari kelompok bersenjata, termasuk Hezbollah di Lebanon dan kelompok militan Palestina. Seiring dengan itu, Israel menempatkan radar canggih di kawasan tersebut, yang memungkinkan pengawasan dan penanggulangan ancaman dari drone dan rudal yang diluncurkan dari wilayah Suriah.
Seperti yang dilaporkan oleh Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), dengan pendudukan ini, Israel telah melangkah sekitar 10 km ke dalam wilayah Suriah dan menguasai lebih dari 400 meter persegi dari zona penyangga yang sebelumnya dipisahkan oleh kesepakatan internasional.
Reaksi Terhadap Israel dan Keterlibatan Turki
Salah satu pertanyaan yang muncul dari pendudukan ini adalah mengapa kelompok oposisi Suriah, terutama Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammad al-Julani, serta Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung oleh Turki, tidak memberikan perlawanan terhadap Israel. Hal ini mengejutkan mengingat selama bertahun-tahun, HTS dan SNA terlibat dalam perjuangan keras melawan rezim Bashar al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran.
Di sisi lain, Turki memiliki kepentingan besar di Suriah, baik dalam mendukung oposisi dalam mengusir Assad, maupun dalam menanggulangi pengaruh kelompok Kurdi yang dianggap sebagai ancaman terorisme. Meski demikian, tidak ada langkah nyata dari Turki untuk menghalangi Israel menguasai kawasan strategis ini. Di tengah transisi kekuasaan di Suriah yang sedang berlangsung, fokus Turki lebih terarah pada pengurangan pengaruh Kurdi di Suriah daripada menghadapi ancaman yang lebih besar dari Israel di Dataran Tinggi Golan.
Ambisi Israel dan Respons Internasional
Israel, melalui pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa perjanjian pembagian zona yang diatur oleh PBB pada 1974 kini tidak lagi berlaku. Langkah ini jelas menunjukkan ambisi Israel untuk memperkuat posisinya di Golan dan memutuskan hubungan dengan setiap klaim kedaulatan Suriah atas wilayah tersebut. Keputusan ini semakin diperkuat dengan dukungan Amerika Serikat, yang sebelumnya di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
PBB dan negara-negara lain telah mengecam pendudukan ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Suriah, namun, dalam kenyataannya, PBB tidak dapat mengambil tindakan yang lebih tegas. Seperti yang sering terjadi dalam konflik-konflik internasional, kepentingan politik dan aliansi besar—terutama peran AS dan sekutu-sekutunya—sering kali menahan tindakan nyata terhadap agresi Israel.
Apakah Oposisi Suriah Kehilangan Fokus?
Mengapa kelompok oposisi yang selama ini berjuang keras melawan Assad dan kekuatan luar yang mendukungnya, kini tampak diam terhadap pendudukan ini? Ada banyak spekulasi mengenai motivasi mereka, namun beberapa analisis mengarah pada kemungkinan bahwa transisi politik dan perubahan kepemimpinan internal mereka telah mengalihkan fokus dari ancaman eksternal yang lebih besar.
Seperti yang terjadi di Libya setelah kejatuhan Muammar Gaddafi, kelompok oposisi di Suriah mungkin juga berisiko terpecah dan terlibat dalam konflik internal yang merusak persatuan mereka. Beberapa kelompok mungkin lebih memilih untuk memanfaatkan situasi transisi ini untuk memperkuat posisi mereka di dalam negeri, sementara yang lain bisa jadi telah menerima kenyataan bahwa perlawanan terhadap Israel bukan lagi prioritas utama.
Tantangan Turki dalam Menyeimbangkan Kepentingannya
Turki kini menghadapi dilema besar dalam kebijakan luar negerinya. Di satu sisi, Turki mendukung oposisi yang berusaha menggulingkan Assad, namun di sisi lain, Turki juga tergabung dalam NATO, yang mendukung Israel dan memandang kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan strategis Barat. Turki harus menyeimbangkan dukungan untuk kelompok-kelompok oposisi, termasuk HTS yang kini menjadi bagian dari transisi kekuasaan, dengan komitmennya sebagai anggota NATO.
Pelajaran dari Libya dan Masa Depan Suriah
Situasi di Suriah mungkin akan berkembang seperti yang terjadi di Libya, di mana setelah rezim Gaddafi runtuh, negara tersebut terperosok dalam kekacauan dan perpecahan yang tak berujung. Oposisi Suriah harus belajar dari pengalaman ini dan mencari cara untuk membangun sebuah pemerintahan yang inklusif dan berdaulat, yang dapat melawan segala bentuk intervensi asing dan mengakhiri ketegangan internal.
Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Mukharzah, perjuangan untuk kemerdekaan dan keadilan di Suriah harus berlandaskan pada tegaknya syariat Islam dan bukan sekadar berfokus pada kepentingan politik kekuasaan sementara. Tanpa persatuan dan tujuan bersama yang jelas, Suriah berisiko jatuh ke dalam kekacauan lebih lanjut.
Tim riset | Analisis Global | trenopini
COMMENTS