Liberalisasi Generasi di Balik PP 28/2024
Oleh : Dewi Puspita, S.Si (Pemerhati Masalah Remaja dan Keluarga)
Peraturan Pemerintah (PP) 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memantik kontroversi. Berbagai pihak melakukan protes atas keputusan ini. Khususnya di pasal 103 ayat 4 butir e yang menyebutkan penyediaan alat kontrasepsi.
Paradigma Liberalisme
Keluarnya PP ini berdasarkan pemerintah yang mengikut narasi global tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Kekeliruannya ada pada dasar pemikiran dan arahnya.
Doktrin KRR yang menyatakan my body, my authority (tubuhku adalah otoritasku) mengartikan bahwa harus ada persetujuan (sexual consent) untuk melakukan aktivitas seksual. Hal ini sangat berbahaya, bukannya menjaga kesehatan reproduksi remaja, melainkan membangun mindset membenarkan perilaku seks tanpa menikah. Perilaku remaja kian liar.
Landasan doktrin ini adalah liberalisme, paham yang menjunjung kebebasan tanpa batasan. Sekulerisme, paham yang menganggap agam tak perlu ikut campur urusan duniawi, dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 103 ayat 4e (Konseling dan penyediaan alat kontrasepsi) tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait pencegahan pernikahan dini dan upaya menurunkan angka kehamilan remaja. Jika pelajar dilarang untuk menikah dini, lalu difasilitasi penyediaan alat kontrasepsi sama halnya memberikan lampu hijau untuk berzina tanpa takut terjadi kehamilan karena telah disediakan kondom.
Hal ini menjadi jelas ada aroma liberalisasi terhadap generasi. Penjajahan secara budaya sangat nyata. Westernisasi secara sistematis melalui kebijakan. Alhasil generasi akan menjadi rusak.
Pandangan Islam
Islam sangat menjaga dan menjaga kehormatan manusia. Problematika remaja diselesaikan dengan pelaksanaan syariat islam yang mulia oleh Negara. Negara sebagai pengatur urusan umat wajib menjauhkan generasinya dari berbagai hal yang merusak moral dan akhlak individu. Baik itu dari sisi sistem pendidikan, pergaulan, pengelolaan media dan sanksi.
Sistem pendidikan dengan asas akidah Islam akan mewujudkan generasi yang berkepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap yang islami akan menjadikannya senantiasa menjadikan aturan Allah sebagai standar perbuatan. Kesalihan akan menjaga mereka dari perbuatan yang keji.
Sistem pergaulan yang berasaskan syariat Islam akan mewujudkan ketakwaan masyarakat, dimana akan ada amar ma'ruf nahi mungkar (menyeruh pada kebaikan, dan mencegah keburukkan). Larangan khalwat (berdua-duaan), kewajiban menutup aurat, larangan ikhtilat (campur baur) serta batasan pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang harus dipahami. Dengan demikian masyarakat memiliki kaca mata yang sama yaitu halal dan haram.
Adanya edukasi seperti pembinaan intensif, baik oleh lembaga, media sosial, video dan konten edukatif. Negara wajib memfilter dan melarang masuknya konten yang berbau porno dan bisa merusak generasi.
Sistem sanksi dalam Islam bagi pelaku zina sangat jelas dalam surah An Nur ayat 2. Jika pelaku perzinahan sudah menikah maka sankinya adalah rajam. Jika belum pernah menikah hukumannya berupa cambuk 100 kali kemudian diasingkan. Hal ini jelas akan memberikan efek jera.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 2 yang artinya, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”
Namun, terlindunginya generasi takkan bisa terwujud jika berharap pada sistem yang berasaskan liberalisme-sekularisme. Melainkan dengan penerapan Islam secara totalitas. Wallahu a'lam bisshowab
COMMENTS