Konflk tanah di IKN
Oleh : Asih (Aktivis Muslimah)
Wahana Lingkungan Hidup Idonesia (WALHI) Kalimantan Timur membeberkan sejumlah konflik tutorial hingga perampasan lahan rakyat di Kawasan delineasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Ketua WALHI Kaltim Fathur Roziqin mengatakan luas wilayah IKN meliputi 2 kabupaten yaitu Panajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Selain itu, WALHI menegaskan bahwa pembangunan IKN tidak berada di lahan kosong melainkan ada sejumlah desa yang akan berdampak dalam pembangunan megaproyek ini.
Kepemilikan Hak akan tanah memang kerap kali menimbulkan konflik dan sengketa lahan. Hal ini pun banyak terjadi dalam proses pembangunan IKN. Namun dalam sistem Kapitalisme pembangunan megaproyek yang membutuhkan banyak lahan kerap kali mengabaikan hak dan ruang hidup rakyat.
Pembangunan IKN yang di nilai tidak mendesak oleh para pakar, berujung pada permasalahan yang komplek. Pembangunan IKN tidak bisa dikatakan untuk kepentingan umum. Pasalnya kebutuhan masyarakat untuk hidup, kesehatan dan Pendidikan masih bekum dituntaskan oleh negara. Sebab negara tidak akan dikatakan maju dengan bangunan yang megah dan indah namun rakyatnya masih banyak hidup dalam kemiskinan.
Dalam kasus sengketa tanah di wilayah yang akan di bangun IKN pemerintah hanya menawarkan solusi parsial seperti Kebijakan land freezing bertujuan untuk membatasi pengalihan hak atas tanah, mencegah spekulan tanah, dan okupasi dari mafia tanah di wilayah delineasi IKN sehingga pembangunan dan penyelenggaraan IKN oleh pemerintah yang dilakukan berdasarkan strategi yang matang dapat segera diaktualisasikan.
Pemerintah tidak memikirkan bagaimana kelanjutan kehidupan masyarakat jika lahan pertanian dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka harus diubah menjadi Ibu Kota. Salain itu konflik perampasan sebagian rumah warga yang berujung pada relokasi dampaknya bukan hanya pada hilangnya rumah warga tetapi juga menghilangkan mata pencaharian yang akan membuat warga makin kesulitan menjalankan hidup.
Politik oligarki hanya mementingkan kepentingan sebagian orang dan mengabaikan kepentingan rakyat. Atas nama pertumbuhan ekonomi dan investasi negara memberikan kemudahan pengelolaan dan penguasaan lahan untuk proyek tersebut. Sungguh praktek oligarki dinegri ini hanya merampas kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut tidak akan kita temui jika di terapkannya sistem Islam. Kebijkan di dalam Syariah Islam menjadikan kebaikan bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 42 : “Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali (semua makhluk).” (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah sesuai dengan hukum-hukum Nya.
Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid ayat 7 yang artinya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”
Syariah Islam memberikan 4 (empat) solusi mendasar dalam mengatasi konflik agraria. Pertama : Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Dalam hal ini, syariah Islam mengijinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh seseorang, menjadi milik orang yang bersangkutan.
Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak.” (HR al-Bukhari).“Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud).
Hadits-hadits ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non Muslim, dan menjadi dalil bagi kebolehan untuk siapa saja yang menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu ijin pemerintah Alasannya, karena perkara-perkara yang boleh memang tidak memerlukan izin pemerintah. (An-Nabhani, 1990 : 138).
Kedua : Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun.
Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Rasulullah SAW. Beliau menyatakan : “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama 3 tahun.”
Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari 3 tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.
Ketiga : Kebijakan negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau. (An-Nabhani, 1990 : 120).
Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apa pun (pagar, tanaman, pengelolaan dan lain-lain) sebelumnya.
Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang karena alasan-alasan tertentu, seperti penelantaran oleh pemiliknya diambil alih oleh negara lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat : Kebijakan subsidi negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka.
Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan konflik agraria. Allah SWT sebagai pemilik tanah yang hakiki telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dan terjamin keadilannya karena hanya Allah SWT yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia ciptaan-Nya.
Konflik agraria tidak perlu terjadi seandainya hukum Islam digunakan sedari awal dalam mengatur pertanahan. Konflik agraria nihil terjadi atau peluang untuk terjadi sangat kecil karena masing-masing pihak, yaitu negara, masyarakat dan individu sama-sama mengerti dimana posisinya berdasarkan hukum Islam. Wallahu’alam.
Referensi
https://mediaumat.news/hukum-pertanahan-menurut-syariah.../.
https://www.suarainqilabi.com/mengatasi-sengketa-lahan.../.
COMMENTS