halal haram di negeri sekuler
Oleh : Siti Eva Rohana, S.Si
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, telah menghimbau kepada pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal. Jika pada 17 Oktober 2024 mendatang, pelaku usaha tak kunjung mengantongi sertifikat halal maka kementrian agama akan menjatuhkan sanksi. Tiga kelompok produk yang harus bersetifikat diantaranya Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (beritasatu.com 7/01/23).
Beredarnya produk makanan yang tidak memiliki kejelasan status kehalalan dikalangan masyarakat kian menjamur. Dimulai produk dalam negeri hingga luar negeri, home produksi hingga skala industri banyak yang tidak mencantumkan logo halal. Mirisnya banyak produk-produk makanan yang telah viral di sosial media serta menjadi daya tarik masyarakat, namun tak mampu menghadirkan sertifikat halal dan dibiarkan beredar luas oleh pemerintah. Bagi masyarakat muslim yang teliti, tentu masalah ini telah menambah keresahan sehingga merasa tak nyaman ketika berbelanja produk makanan. Selain ketidaknyamanan beradarnya produk yang tidak jelas status kehalalan tersebut juga dapat mengancam kaum muslimin dari bahaya makanan haram yang tanpa disadari masuk kedalam tubuh.
Walau telah bergulir himbauan pemerintah untuk segera mengurus sertifikat halal, namun himbauan tersebut hanyalah sebatas himbauan. Tak ada upaya cepat tanggap dalam memberantas produk makanan dan minuman yang terlanjur beredar namun tidak memiliki serirtifikat halal.
Semestinya dalam menghentikan penjulan produk yang tak bersetifikat halal, tak perlu harus menunggu hingga tahun 2024 mendatang dan baru dikeluarkan sanksi per 17 Oktober 2024. Pengawasan yang begitu lama ini, menunjukkan pemerintah tidak serius dalam menjaga masyarakat muslim dari segala konsumsi zat yang diharamkan.
Berkenaan dengan sanksi pun terkesan bertele-tele dan sama sekali tidak ada ketegasan. Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2021 sanksi yang akan diberikan hanyalah sebatas peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Padahal perilaku mengedarkan produk haram sudah termasuk kategori tindak kejahatan yang mengancam mayoritas kaum muslim di Indonesia. Setiap muslim yang menkonsumsi zat haram doanya tidak akan terkabul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?” (HR Muslim).
Selain doa yang tidak terkabul dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW juga menyatakan daging tubuh manusia yang tumbuh berkembang dari makanan haram, maka siksa neraka layak dan pantas diberikan padanya sebagai hukuman.
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya.” (HR at-Tirmizi).
Hadist diatas menunjukkan betapa pentingnya umat islam menjaga diri dari sesuatu yang haram termasuk perkara makanan dan minuman serta barang konsumsi lainnya. Maka sudah menjadi keharusan negara memberikan perlindungan warganya dari perkara haram dengan menetapkan aturan yang jelas dan tegas.
Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Namun dalam sistem saat ini, sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan.
Pemerintah telah mengeluarkan tarif permohonan sertifikat halal barang dan jasa mulai dari 300.000 hingga 12.500.000. perpenjangan sertifikat halal barang dan jasa mulai dari 200.000 hingga 5000.000 dan 350.000 untuk Biaya Pemeriksaan Kehalalan Oleh Lem`11baga Pemeriksa Halal Untuk Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil. Sedangkan Biaya Pemeriksaan Kehalalan Produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal Untuk Pelaku Usaha Menengah, Besar Dan/Atau Luar Negeri 3000.000 hingga 21.125.000 (kemenag.go.id, 16/03/22).
Pemberlakuan tarif tersebut tentu pada akhirnya membuat para produsen berfikir ulang untuk mengajukan sertifikat halal. Ditambah tidak ada ketegasan hukum yang berlaku serta lemahnya keimanan masyarakat, para produsen akan lebih memilih memviralkan produk, meningkatkan kualitas rasa agar diminati banyak orang tanpa harus repot mencantumkan logo halal.
Inilah wajah negara dengan sistem kapitalisme, yang menjadikan rakyat sasaran pemalakan melalui berbagai cara. Ini tentu berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam
Dalam sistem Islam, perkara halal dan haram menjadi perkara penting yang membutuhkan perhatian khusus. Sehingga secara praktisnya negara akan menugaskan para qadi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Untuk memastikan kehalalan dan keamanan produk para qadi akan bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk secara telilti.
Dengan jaminan seperti ini, rakyat akan merasa aman dalam mengonsumsi produk. Mereka tidak perlu repot harus mengecek dahulu keberadaan sertifikat halal untuk varian produk yang hendak dikonsumsi. Produsennya pun adalah orang-orang yang bertakwa sehingga akan memproduksi produk halal karena merupakan kewajiban dari Rabb-nya.
Ketenangan ini terwujud manakala hadir negara khilafah yang tegak di atas aqidah Islam. Satu-satunya negara dengan sistem Islamnya yang bisa bertanggung jawab penuh terhadap tugas penjaminan kehalalan. Jauh berbeda dengan negara di sistem kapitalisme saat ini yang abai dan hanya sibuk memungut cuan dari rakyatnya. Wallahualam.
COMMENTS