Korupsi dana bansos
Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos.
Masih segar dalam ingatan kasus korupsi sembako COVID-19 yang menyeret mantan Menteri Sosial yaitu Juliari Batubara. Beliau dinyatakan bersalah dan divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta. Hukuman itu nyatanya belum mampu membuat para pelaku menjadi jera dan meninggalkan korupsi secara menyeluruh.
Perilaku korupsi ini pun bukan hanya saja dilakukan oleh pejabat negara, namun dilakukan juga oleh pejabat daerah. Dilansir dari media online lampusatu.com adanya dugaan potongan bansos kepada penerima manfaat. Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Subang Ujang Sumara mengungkapkan penyesalan terkait dugaan pemotongan dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) oleh Kantor Pos Indonesia kepada masyarakat di Kabupaten Subang sebagai penerima.
Belum lagi hal ini bersamaan dengan masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan. Dengan demikian, tidak sedikit dari masyarakat yang merasa geram dan hilang kepercayaan terhadap para pemegang tanggung jawab dan juga terhadap sistem yang mengaturnya hari ini. Bagaimana tidak? Tidak korupsi merupakan salah satu kejahatan yang sangat berdampak bagi masyarakat karena memberikan kerugian yang nyata.
Bahkan pada tahun 2021 KPK telah mencatat bahwa jumlah tindak korupsi telah mencapai 736 kasus. Mulai dari kasus yang masuk dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan eksekusi. Angka ini merupakan jumlah tertinggi selama KPK didirikan. Pada tahun 2022 yaitu memasuki gerbang pemilu, maka bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa tindak korupsi kian meningkat.
Bukan hanya itu, sebanyak 9 dari 10 responden Litbang Kompas menilai bahwa korupsi di tengah-tengah masyarakat sangatlah mengkhawatirkan. Ini merupakan bukti bahwa masyarakat mengindera tindak korupsi di sekitarnya. Namun pada faktanya belum sebanding dengan upaya masyarakat untuk melaporkan tindakan korupsi tersebut. Ini menjadi bukti bahwa kasus korupsi di level akar rumput bisa saja masih terus ajek tanpa ada peran aktif untuk ditanggulangi.
Ini merupakan buah dari sistem kapitalis sekuler yang menghasilkan aturan yang tidak kokoh dan menyeluruh. Permasalahan akan terus tumbuh dari sisi individu, masyarakat bahkan negara. Tergambar pula dengan adanya sikap individualis yang membuat masyarakat pasif untuk melaporkan tindak korupsi yang terindera. Tentu bukan tanpa alasan, salah satunya diawali dari masyarakat yang merasa adanya tindakan kurang tegas dan tidak solutif dalam penanggulangannya.
Ada juga faktor dari para pemangku jabatan yang tidak menanamkan kejujuran pada praktik dan tugasnya. Buah dari sistem kapitalis sekuler nampak sangat nyata di sini. Pejabat memisahkan urusan agama dengan kehidupan. Padahal Allah telah jelas memerintahkan agar seorang hamba berlaku jujur dan tidak merampas hak orang lain. Inilah bukti dari sistem hari ini yang membuat aktivitas individu-individu menjadi lepas kendali.
Tiada lagi kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah SWT. Peluang untuk meraih materi dunia di depan mata mengalahkan segalanya. Bahkan rela mengorbankan kesejahteraan masyarakat yang lain demi kebahagiaan dunia yang hanya sementara. Para pelaku korupsi pun tidak merasa takut akan hukuman yang mereka dapatkan kelak, karena menjadi urusan mudah hari ini untuk menyetir segalanya dengan materi yang dipunya.
Sistem kapitalis sekuler akan selalu melahirkan serta menyuburkan virus korupsi ini. Sistem kapitalis sekuler tidak mampu menghilangkan tindak korupsi ini, yang ada malah menunjang berbagai bentuk tindak korupsi di negeri ini. Asas materi dan standar kebahagiaan dunia pun menjadi pegangan bagi para individu di negeri ini. Maka, tak aneh bila membentuk kepribadian dan budaya korupsi.
Masyarakat tentunya membutuhkan sistem yang mampu mencegah dan menanggulangi berbagai praktik korupsi ini. Yaitu sistem yang baik dan menyeluruh, sistem yang dapat membentuk masyarakat berkepribadian yang bersih dan taat. Dengan itu akan lahirlah individu-individu, masyarakat dan ekosistem yang otoritasnya bukan kepada mengenyangkan diri sendiri, tapi fokus pada kepentingan umat.
Hanya Islamlah yang mampu menyelesaikan permasalahan korupsi ini secara menyeluruh. Ketegasan sistem Islam dalam persoalan ini tidak terlepas dari adanya sistem persanksian yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Dengan itu, masyarakat akan tercegah dari tindak kriminal yang sama. Pun ketika sanksi diberlakukan pada pelaku, maka akan melahirkan rasa jera dan menebusnya dari dosa tersebut.
Sistem Islam pun akan melahirkan ketakwaan pada tiap individu. Dengan itu, setiap individu akan merasa selalu diawasi oleh Allah SWT dan tidak akan mampu menahan kesalahan di benaknya. Masyarakat akan menyadari bahwa segala sesuatu kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Pelaku akan dengan mudah mengakui kesalahannya dan ikhlas menerima sanksi karena itu merupakan konsekuensi dari perbuatannya.
Tetapi bila melihat fakta hari ini, para pelaku malah sebaliknya, alih-alih menjalankan sanksi dan bertaubat, ketika sudah habis masa hukumannya tidak sedikit yang mengulanginya kembali. Alhasil mereka menyumbangkan kerugian lagi dan lagi. Itulah bukti bahwa korupsi masih ajek di negeri ini dan berjalan secara sistemis. Padahal Allah SWT telah berfirman,
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (terjemah QS. Al-Maidah [5]: 49)
Sudah saatnya masyarakat menyadari betapa pentingnya sistem Islam mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang ada hari ini. Karena dengan membiarkan sistem kapitalis sekuler menguasai, maka sama saja membiarkan masyarakat jauh dari solusi hakiki dan terus tenggelam di dalam pusaran hawa nafsu duniawi.
Wallahu’alam
COMMENTS