Hari kekerasan perempuan
November adalah bulan digelarnya peringatan dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau biasa disingkat (16HKtP), yang berlangsung setiap 25 November sampai 10 Desember.
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini diperingati sebagai bentuk penghormatan terhadap tiga perempuan, Mirabal bersaudara, pegiat HAM yang tewas dibunuh (femisida) karena perjuangan mereka menegakkan HAM di negara Dominika. Di Indonesia kampanye ini sudah berlangsung sejak tahun 2001, Meskipun sudah dilaksanakan sejak berpuluh tahun lamanya, namun kekerasan terhadap perempuan masih saja terus terjadi, bahkan ketika UU TPKS sudah resmi disahkan oleh pemerintah.
Pendalaman pengetahuan femisida tahun 2022 dilakukan oleh Komnas Perempuan melalui pemantauan media daring rentang Juni 2021 - Juni 2022 dan penelitian atas putusan pengadilan yang difokuskan pada femisida pasangan intim sebagai eskalasi KDRT yang berujung pembunuhan. Hasil pemantauan media daring mencatat 84 kasus femisida pasangan intim baik yang dilakukan oleh suami maupun mantan suami korban.
Deklarasi Wina mencatat 9 kategori femisida yaitu: (1) femisida pasangan intim, (2) femisida budaya (femisida atas nama kehormatan, femisida terkait mahar, femisida terkait ras, femisida terkait tuduhan sihir, femisida terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan/P2GP, femisida terhadap bayi perempuan),(3) femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang, (4) femisida dalam konteks industri seks komersial, (5) femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, (6) femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender, (7) femisida di penjara, (8) femisida non intim, dan (9) femisida terhadap perempuan pembela HAM.
Menyambut 16 HAKTP, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hak hidup merupakan hak asasi paling dasar yang dijamin Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional. Tanpa hak hidup, hak-hak asasi lainnya tak dapat berjalan.
Dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia, isu femisida dapat digunakan untuk mengukur dan mendesak kewajiban negara terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pengabaian dalam merespons femisida menunjukkan kelalaian atau pembiaran negara dalam upaya penghapusan kekerasan yang paling ekstrim, berlapis dan sadis yang dapat dikategorikan sebagai tindak penyiksaan.
Dalam konteks ini, pengabaian isu femisida dapat menjadi kejahatan negara karena ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin hak perempuan atas hidup dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Oleh karena itulah, pengetahuan mengenai femisida mendesak menjadi kepedulian bersama, memastikan upaya-upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan korban terintegrasi dalam sistem hukum dan kebijakan sosial.
Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar pada persoalan. Apalagi ketika regulasipun ternyata tak tumpul tak menjadi solusi.
Masyarakat perlu tahu bahwa solusi tuntas dari segala masalah yang ada hanya dapat diwujudkan dengan merubah cara pandang yang benar tentang kehidupan.
Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah islam sebagai asas dan dasar dalam berhukum, dan menjadikan dunia sebagai tempat beramal sholeh yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak.
Cara pandang yang shahih pula yang akan memberikan kekuatan pada regulasi yang telah dibuat.
COMMENTS