Realitas Akhlak
Sepanjang bulan Rabi’ul Awwal, bertepatan dengan Maulid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasanya banyak penceramah menyampaikan topik seputar akhlak dibarengi dengan penyampaian hadits yang cukup populer seperti “Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
Terlepas relevan atau tidak konteks hadits tersebut dengan topik ceramah yang biasa disampaikan, nampaknya dalam momentum ini, sangat tepat kiranya kita mengkaji kembali masalah akhlak ini, sehingga ditemukan rumusan yang tepat dalam memahami realitas akhlak dalam perspektif Islam.
Secara leksikal, akhlak berasal dari kata al-khuluq yang berarti karakter dan tabiat. Sedangkan secara istilah, akhlak adalah “sifat-sifat yang diperintahkan Allah kepada seorang muslim untuk dimiliki tatkala ia melaksanakan berbagai aktivitasnya.” (M. Husain Abdullah, Dirâsât fi al-Fikr al-Islâmi, 1990: 52).
Karena itu, sifat akhlak tersebut terlihat pada diri seorang muslim ketika melakukan aktivitas tertentu, seperti: ibadah, muamalah dan lain-lain, dengan catatan semua aktivitas itu dilakukan secara benar. Selanjutnya, berdasarkan studi mendalam terhadap realitas akhlak dalam Islam, maka bisa disimpulkan beberapa karakteristik akhlak sebagai berikut:
Pertama, Akhlak Bagian Syariat Islam
Akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah swt., bukan suatu sistem yang terpisah. Akhlak adalah bagian dari rincian berbagai hukum. Dimana porsinya paling sedikit dibandingkan rincian lainnya. Dalam fiqih tidak dibuat satu bab pun yang khusus membahas akhlak. Karena itu, dalam buku-buku fiqih yang mencakup hukum-hukum syara’ tidak ditemukan satu bab khusus dengan sebutan bab akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak menitikberatkan pembahasan dan pengambilan hukum dalam perkara akhlak. (An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, cet. VI, 2001: 136). Akhlak Islam juga sebenarnya, tidak akan mungkin dipisahkan dari bagian macam-macam hukum syara', seperti ibadah, muamalah dan lain sebagainya, sehingga khusyu tidak akan nampak kecuali dalam shalat, jujur dan amanah hanya akan muncul pada muamalah, jadi akhlak merupakan bagian dari hukum syariat, yakni perintah dan larangan Allah swt yang akan nampak ketika melaksanakan amal perbuatan, yang sesuai syariah.
Kedua, Akhlak Bukan Berdasarkan Materi
Akhlak seorang muslim tidak boleh berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudharat, namun mesti tunduk pada pertimbangan syariah, yakni perintah dan larangan Allah swt semata, bukan yang lain. Karena, adakalanya akhlak akan mendatangkan manfaat, namun adakalanya akhlak akan mendatangkan bahaya. Seperti akhlak pengemban dakwah ketika diwajibkan untuk menyatakan kebenaran dihadapan penguasa diktator:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhadâ’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib serta orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian dia (penguasa tersebut) membunuhnya.” (HR. Al-Hakim, 4872)
Ketiga, Standar Baik dan Buruk Sesuai Syariah
Perangai atau akhlak dikatakan baik jika sesuai dengan syariat, sedangkan perangai yang buruk adalah yang tidak sesuai dengan syariat. Karenanya akhlak dapat diklasifikasikan menjadi: akhlak yang sesuai dengan syariat atau akhlak mahmûdah alias terpuji, dan akhlak yang tidak sesuai syariat atau akhlak madzmûmah alias tercela. Dalam istilah Syaikh Nawawi al-Jawi (w. 1898 M), akhlak terpuji terkait dengan pengaruh keimanan, sedangkan akhlak tercela merupakan akibat perbuatan maksiat. (Mirqâh Shu’ûd at-Tashdîq Syarh Sulam at-Taufîq, t.t: 58-85). Karena itulah standar baik-buruk maupun terpuji-tercela, dilihat dari aspek pahala dan siksa, semuanya kembali kepada Allah swt, bukan kepada akal manusia, artinya kembali kepada dalil-dalil syariah, dalam konteks ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An-Nisâ’ [4]: 59)
Keempat, Akhlak Tidak Berdasarkan ‘Illat dan Sesuai Fitrah Manusia
Akhlak tidak berdasarkan kepada ‘illat (alasan hukum), sehingga tidak ada satu ‘illat pun dalam masalah akhlak. Misalnya, Jujur, amanah dan menunaikan janji, diperintahkan semata-mata karena hukumnya wajib menurut syara’, kewajibannya telah ditentukan oleh nas, bukan disebabkan adanya illat tertentu. Maka, kejujuran, amanah dan menunaikan janji tersebut tidak bisa dilaksanakan seorang muslim karena keuntungan material, atau pujian orang, dan sebagainya.
Akhlak Islam, sebagaimana akidah Islam, juga sesuai dengan fitrah manusia. Memuliakan tamu dan menolong orang yang memerlukan, adalah sangat selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah al-baqâ’ alias naluri mempertahankan diri. Khusyu’ dan tawadhu’ juga selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah at-tadayyun alias naluri beragama. Kasih sayang dan perbuatan baik, juga sesuai fitrah manusia, yaitu gharîzah an-nau’ alias naluri melestarikan jenis. (An-Nabhani, lihat dalam Nizham al-Islam dan Mafahim).
Kelima, Akhlak Bukan Faktor Utama Pembentuk Masyarakat
Akhlak tidak bisa dijadikan dasar bagi terbentuknya suatu masyarakat, karena masyarakat tersusun dari: manusia, pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Akhlak adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Masyarakat tidak dapat diperbaiki dengan akhlak, melainkan dengan dibentuknya pemikiran, perasaan Islami, serta diterapkannya peraturan dan sistem Islam di tengah-tengah masyarakat itu.
Justru, perbaikan individu akan tercapai dengan jalan memperbaiki masyarakatnya. Jika masyarakat sudah diperbaiki, maka dengan sendirinya individu menjadi baik. Karena itu adagium mengatakan:
إِصْلاَحُ الْمُجْتَمَعِ يُصْلِحُ الْفرْدَ، وَ إِصْلاَحُ الرَّاعِي يُصْلِحُ الرَّعِيَّةَ، وَ النَّاسُ عَلىَ دِيْنِ مُلُوكِهِمْ
Perbaikan masyarakat akan memperbaiki individu; perbaikan pemimpin akan memperbaiki rakyat; dan masyarakat itu tergantung agama (aturan) pemerintah mereka. (Hadits ash-Shiyâm juz I, h. 180).
Al-Qasim bin Mukhaimirah, salah seorang tabi’in, berkata:
إِنَّمَا زَمَانُكُمْ سُلْطَانُكُمْ فَإِذَا صَلَحَ سُلْطَانُكُمْ صَلَحَ زَمَانُكُمْ وَإِذَا فَسَدَ سُلْطَانُكُمْ فَسَدَ زَمَانُكُمْ.
Sesungguhnya, zaman kalian tergantung kondisi pemerintahannya; jika pemerintahan baik maka baiklah kondisi zaman kalian; dan jika pemerintahan rusak maka rusaklah kondisi zaman kalian. (Sunan al-Baihaqi al-Kubrâ, VIII/163; Syu’ab al-Imân, IX/520).
Akhlak itu sendiri lebih merupakan efek dari diterapkannya syariat terhadap masyarakat, dan bukan sebaliknya. Karena itu wajar jika al-Quran tidak terlalu banyak membicarakan akhlak kecuali asy-Syu’ara ayat 137 dan al-Qalam ayat 4. (Ahmad 'Athiyat, ath-Thariq “Jalan Baru Islam”, 2006: 36).
Karenanya dapat disimpulkan bahwa tonggak masyarakat adalah akidah yang melahirkan aturan kehidupan, sedang akhlak merupakan perwujudan pengaruh atau efek dari diterapkannya syariah ditengah masyarakat, karena itu akhlak adalah faktor pembangkit personal (individu), sedang akidah yang melahirkan sistem adalah faktor utama pembangkit kolektif (masyarakat). Deskripsi tentang akhlak ini tidak dimaksudkan mengecilkan peran akhlak, namun hanya mencoba menempatkan konsep akhlak secara proporsional dan rasional, dengan pandangan yang objektif. (Disadur dari buku Studi Islam Paradigma Komprehensif, 2015: 191-196). Wallahu a’lam.
Yan S. Prasetiadi
28 Rabi’ul Awwal 1444 H
COMMENTS