Nasib Guru Oemar Bakri
By : Diana Soepadi_Freelance Writer
Teringat masa kecil dulu, saat main bersama teman-teman sepulang sekolah suka sekali bermain sekolah-sekolahan. Ada yang jadi murid, ada yang jadi guru. Jaman kita masih di tahun 90an, guru adalah sosok penuh karisma. Padanya amanah berat mencetak generasi tersemat. Tapi nyatanya tugas berat itu tersendat karena seringkali gaji disunat. Sedih.
Yah, lahir sebagai anak guru sungguh benar-benar membuat saya faham seberapa berat perjuangannya. Walau sosok ayah yang guru SMEA sejak tahun 70an secara penampilan tak persis sama seperti Oemar Bakri, tapi gambaran kehidupan kami sama. Meski menjadi pegawai negeri, puluhan tahun mengabdi, banyak ciptakan menteri, bikin otak seperti Habibie, tapi gaji selalu dikebiri. Ngeri.
Nyatanya sampai sekarang pun kehidupan guru bak sebuah drama korea yang penuh irama duka. Dari mulai perubahan kurikulum yang bikin otak menggulung, bejibun kewajiban administrasi dan pelaporan yang kalau ga kuat bisa bikin edan. Hingga menghadapi problem siswa dan mengentaskannya menjadi manusia sempurna, tak lagi bisa ditunaikan dengan paripurna. Lengkap sudah.
Kabar si Om nibus law tentang Sisdiknas yang menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi, makin membuat hati guru meranggas. Bagaimana tidak, konon berita yang santer dibincang adalah klausul tunjungan guru yang ghosting. What? Beneran? Kalau dari pihak Mas menteri sendiri sih bilang, hal itu dilakukan agar setiap guru menerima tunjangannya tanpa harus ikut proses sertifikasi PPG. Artinya sih semua guru akan dapat tunjangan, tak hanya yang punya sertfikasi PPG saja yang berhak mendapat tunjangan.
Sepertinya that's right but not right. Pasalnya alasan setiap guru bisa mendapatkan tunjangan tanpa memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG), ini dipandang karena guru masih dapat tunjangan lain dengan mengacu pada UU ASN, UU Ketenagakerjaan, hingga alokasi dana BOS dan bantuan dari yayasan. 3 sumber tunjangan tersebut dianggap sudah cukup membuat semua guru sejahtera dan tak perlu tunjangan sertifikasi lagi. Hemmm, tarik nafas dulu ya.
Gini nih, coba kita mikir lebih jauh, tunjangan UU ASN semisal tunjangan istri dan anak, tunjangan kesehatan dan tunjangan beras, nominalnya tidak seberapa besar dan sudah melekat pada semua ASN sebagai gaji kotor. Untuk guru yang bukan ASN semisal guru honorer atau kontrak, maka tunjangan sebagai tenaga kerja akan sangat minim dan bahkan gajinya saja banyak yang jauh di bawah UMR. Bagaimana dengan BOS? Duh, sudah rahasia umum sekolah yang bisa mendapat BOS ini harus rela ruwet bin mumet dengan segudang syarat dan peng-SPJ-annya.
Lantas mau berharap pada bantuan yayasan sebagai tunjangan guru? Lah iya klo yayasannya beken bin keren, dan para pemiliknya tajir melintir hingga mampu memberikan fasilitas dan tunjangan yang level manusiawi pada semua gurunya. Faktanya yayasan-yayasan pendidikan yang berdiri di atas kaki sendiri harus berjibaku dengan dana pribadi yang diputar se-efisien mungkin supaya nafas sekolah masih berhembus. Clear kan? Jadi, masih bisakah dipahami kalau hilannya klausul tunjangan profesi sebagai guru raib, faktanya tak mungkin terganti dengan tunjangan bayangan yang sebenarnya jauh banget bisa direalisasikan.
Fix, nyatanya pemerintah memang hendak lepas tangan mewujudkan kesejahteraan pada guru. Gitu aja, ga perlu argument yang belibet. Dan wajar aja sih kebijakan ini, karena lahir dari rahim kapitalis yang materialistik. Dimana semua mesti dihitung dengan cara matematis. Kalau mengeluarkan dana membuat kerugian pada Negara berupa defisit anggaran yang makin naik, maka closing aja pengeluaran itu. Meskipun sebenarnya pengeluaran tersebut adalah hak rakyatnya. Bahkan tanpa harus menjadi guru pun, sejatinya semua rakyat berhak sejahtera.
Kata sejahtera yang sejak jaman Oemar Bakri jauh tak terwujud, nyatanya kini tetap eksis kokoh menjulang. Jangan salahkan guru, jika kemudian jiwa dan visi mendidiknya nge-blur saat harus terbentur kebutuhan dapur. Generasipun terancam menjadi manusia ngawur yang gemar tawur dan hanya suka mendengkur, ih bisa hancur dan tak mungkin tegak sebuah peradaban yang luhur.
Kalau boleh mimpi, mungkinkah zaman Umar bin Khattab yang memberi gaji guru anak-anak setara dengan 2 kali gaji Presiden sekarang terwujud? Konon saat itu Khalifah ke 2 setelah Abu Bakar membayar guru anak-anak dengan 15 dinar. Gila ya? Bayangkan saja 1 dinar itu senilai 4,25 gr emas. Nah kalau di kitab Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab” karangan Dr. Jaribah bin ahmad Al-Haritsi disampaikan gaji guru 15 dinar, itu berarti gaji guru 14 abad yang lalu sudah sebesar 63,75 gr emas. Hitung sendiri deh berapa juta kalau dikurskan dengan rupiah. Coba tanya ke toko emas seberang jalan, harga 1 gr emas sekarang berapa, pasti bikin hati kita terlongong.
Eits, belum stop disitu ya. Sudah gaji gede, semua kebutuhan dasar ditanggung sama Negara. Semisal kesehatan, pendidikan, keamanan diberikan pada rakyat secara gratis. Semua rakyat dapat tunjangan, ingat ya, semua rakyat bukan hanya guru saja. Di samping kebutuhan dasar hidup rakyat dari papan, sandang dan pangan diwujudkan secara mudah dan terjangkau oleh semua rakyat, termasuk guru. Wajar lah jika kemudian guru benar-benar menjadi pendidik dan pencetak generasi berkaliber dunia.
Penemu-penemu bidang sains masa kekuasaan Islam berjaya di dunia, bertaburan laksana bintang di masa kegelapan Eropa. Sebut saja satu tokoh Piri Reis yang lahir di masa peradaban Islam (Khilafah Utsmani) yang melahirkan karya fenomenal berupa peta dunia pertama dengan sangat akurat pada tahun 1513 M, hingga membuat para cendekiawan Barat tercengang. Selain ada juga Ibnu Sina seorang pakar kedokteran, filsuf dan ilmuwan (980-1037) yang dikenal luas dalam ilmu kedokteran barat sebagai Avicenna. Dan masih bejibun banget para ilmuwan yang lahir dari tangan para pendidik yang berdedikasi tinggi dan fokus mengawal generasi.
Heran? Ga perlu. Semua pengeluaran Negara untuk jaminan kesejahteraan rakyat sudah disiapkan dalam Islam, karena memang Allah mengatur pemasukan Negara dari sumber-sumber yang luar biasa akan mengalir terus. Semisal sumber harta umum tambang energi, kekayaan laut dan hutan. Sumber dari harta rampasan perang saat pembebasan sebuah wilayah dari kekufuran. Dan juga sumber dari zakat, baik zakat harta, ternak ataupun pertanian. Bagaimana dengan pajak? Itu hanya last option saja saat kas kosong melompong. Dan cukup untuk pembiayaan yang dibutuhkan saja no more. Setelah itu stop pajak, no pajak anyway. Keren abis kan? Yuk kembali ke Islam aja.
Bws_10.9.22
COMMENTS