Presiden Pecat Sambo
By Pierre Suteki / Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Artikel ini sebagai revisi atas artikel terkait sebelumnya tertanggal 27 Agustus 2022 yang bertitel Ferdy Sambo tidak dapat di-PTDH Sebelum ada Putusan Pengadilan yang Inkracht. Hal ini saya lakukan setelah saya dalami pemahaman PP No. 1 Tahun 2003 secara komprehensif. Intinya, putusan PTDH Ferdy Sambo dapat dieksekusi tanpa menunggu adanya putusan pengadilan pidana yang inkracht.
Publik kini boleh merasa puas oleh pengumuman resmi Polri dan pemberitaan di media massa terkait dengan hukuman etik terhadap Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo yang disangka terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua. Jika dikaji secara komprehensif, hukuman administratif berupa PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) atas Ferdy Sambo tidak perlu menyisakan persoalan karena akhirnya dapat dieksekusi jika Sidang Banding KKEP nantinya menguatkan putusan Sidang KKEP tingkat pertama yang sudah dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2022 lalu. Sidang KKEP diselenggarakan atas dasar ketentuan dalam Perkapolri No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan PTDH anggota Polri secara khusus diatur dalam PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perkapolri itu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat negara yang berada jauh di bawah PP. Dan kalau dicermati, Perkapolri tersebut memang tidak berdasar pada PP dan hanya berdasar pada UU, yakni UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Meskipun ada PP yang khusus mengatur tentang pemecatan seorang polisi, yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkapolri dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Dalam Pasal 11 PP Nomor 1/2003 disebutkan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) apabila melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain. Pemahaman pasal ini mestinya seorang anggota Polri dapat diberhentikan dengan PTDH jika melakukan salah satu dari tiga perbuatan yang diancam dengan PTDH, yaitu:
(1) melakukan tindak pidana saja, atau
(2) melakukan pelanggaran saja, atau
(3) meninggalkan tugas atau hal lain
Logikanya, salah satu saja dari tiga hal tersebut di atas dilakukan oleh anggota Polri, sudah dapat di-PTDH apalagi akumulasi dari beberapa tindakan tersebut.
Terhadap PTDH akibat melakukan tindak pidana, diatur dalam Pasal 12 PP Nomor 1/2003 yang berbunyi:
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan kegiatan yang menentang negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak sah.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Atas dasar ketentuan dalam PP No. 1 Tahun 2003 ini, maka sebenarnya sidang KKEP dalam kasus dugaan adanya tindak pidana seharusnya dilakukan setelah ada putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Sidang KKEP tersebut diselenggarakan untuk menilai apakah terpidana tersebut masih layak ataukah tidak sebagai anggota Polri.
Terhadap PTDH karena melakukan pelanggaran, diatur dalam Pasal 13 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena
Republik Indonesia.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Terhadap PTDH karena Meninggalkan Tugas atau Hal Lain diatur dalam Pasal 14 sebagai berikut:
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila:
a. meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut;
b. melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas Kepolisian;
pidana yang dilakukannya; atau
d. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Ferdy Sambo diduga telah melakukan akumulasi perbuatan yang diancam dengan PTDH yaitu melakukan tindak pidana dan melakukan pelanggaran. Terkait dengan tindak pidana, ada jalur khusus penyelesaiannya dengan SPP (Sistem Peradilan Pidana). Prosesnya mulai dari penetapan tersangka, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan hingga memperoleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Waktu yang dibutuhkan bisa selama tahunan.
Oleh karena Ferdy Sambo juga diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka Kapolri telah membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian. Dan Komisi tersebut telah memeriksa Ferdy Sambo dengan putusan sidang berupa PTDH. Atas putusan tersebut, Ferdy Sambo menyatakan Banding. Sebenarnya putusan sidang KKEP pertama sudah bersifat final dan mengikat dan dapat dieksekusi, namun oleh karena masih ada Banding, maka putusan sidang PTDH hanya dapat dieksekusi jika Komisi KKEP Banding menolak permohonan Ferdy Sambo yang berarti menguatkan putusan Sidang KKEP Pertama.
Jadi, ketika sidang Banding KKEP menguatkan sanksi PTDH, Presiden dapat memecat langsung Ferdy Sambo tanpa harus adanya putusan pengadilan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sekali lagi, Ferdy Sambo sudah dapat diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH) sebagai anggota Polri sebelum adanya putusan pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap atas tuduhan tindak pidana berupa pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 338 jo Pasal 55 dan 56 KUHP.
Kita tahu ada fakta lain, meskipun seorang anggota Polri telah melakukan tindak pidana dan telah dihukum penjara, namun jika pejabat yang berwenang memandang yang bersangkutan masih pantas sebagai anggota Polri, maka yang bersangkutan tidak perlu di-PTDH. Kita ingat kasus anggota Polri Brotoseno, bukan? Ada alasan pokok mengapa Brotoseno tidak diberhentikan sebagai anggota Polri meskipun telah dipidana penjara, karena dalam kasus Brotoseno tidak dilakukan sidang KKEP yang memutus bahwa Brotoseno diberhentikan secara baik secara PDH maupun PTDH. Itu bedanya penanganan kasus Ferdy Sambo dan Brotoseno. Atas penanganan kasus yang prosedurnya bisa "mbulet" dan terkesan "SSK" (Suka Suka Kami) ini saya kira, perlu sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tubuh Polri agar ada kepastian hukum dalam menyelesaikan kasus anggota yang berhadapan dengan hukum secara luas, baik dan tidak diskriminatif terkait dengan etik, administratif maupun pidana.
Tabik..!
Semarang, Ahad: 28 Agustus 2022
COMMENTS