Politik haji
Oleh: Dr Abu Muhammad Asyam Fathul Ulum | Indonesia Monitor Justice
Tepat 9 Zulhijjah atau bertepatan 8 Juli 2022, kaum muslimin seluruh dunia berbondong-bondong wukuf di Arafah, sekaligus menjadi rangkaian puncak dari ibadah haji. Pada konteks spiritual, ibadah haji merupakan fardhu ain bagi seorang muslim baligh, berakal, dan mampu baik lahiriah maupun psikis batiniah. Episode ibadah haji sejak diutusnya Baginda Rasulullah SAW sesungguhnya bukan sekedar perjalanan bersifat ritual tetapi ibadah haji sejatinya dalam perspektif politik Islam khususnya, merupakan momentum penyatuan umat Islam tanpa sekat-sekat nasionalisme dan ras. Wukuf di Padang Arafah kaum muslimin sedunia tumpah ruah bertakbir, bertahlil, dan bertahmid yang menggetarkan jagad sampai menembus tujuh petala langit.
Hegemoni kafir barat dari dulu hingga saat ini, sangat mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin atas dasar Aqidah Islam, sebab ini merupakan titik pangkal kebangkitan Islam yang akan meruntuhkan pilar-pilar peradaban barat sampai kepada fondasinya. Hegemoni kafir barat menyadari betul eksistensi ibadah haji sebagai pemicu kesadaran politik umat Islam hingga mereka kaum kuffar sangat mewaspadai gelagat aktivitas haji sebagai momentum kebangkitan kesadaran politik umat Islam.
Berbagai rekayasa ditempuh kafir barat melalui antek kaki tangan mereka dari penguasa muslim sendiri guna mendegradasikan ibadah haji sekadar sebuah ritual biasa. Para jamaah haji, pulang ke negerinya masing-masing, kembali terkontaminasi racun pemikiran nasionalisme. Kaum muslimin saling tersekat oleh batas-batas geografis rekayasa kafir barat. Akibatnya, kaum muslimin tidak lagi merasa satu tubuh, yang diibaratkan Baginda Nabi SAW jika satu tubuh merasakan sakit maka seluruh anggota tubuh lainnya juga merasakan sakit.
Padahal Baginda Nabi SAW dulunya menjadikan ibadah haji sebagai momentum politik untuk menyatukan Bani Aus dan Bani Khajraj setelah memeluk Aqidah Islam yang kedua bani itu sepakat dengan sumpah komitmen mengangkat Baginda Nabi sebagai pemimpin politik sekaligus kepala Negara yang menjadi pelindung bagi diterapkannya syariah Islam bahkan peradaban Islam berkembang pesat menjadi pemimpin bagi peradaban umat manusia.
Perjuangan para ulama di nusantara dahulu, juga tak luput menjadikan ibadah haji sebagai sebuah pertemuan politik guna merancang strategi mengusir Kolonialisme Belanda. Saat itu Professor Snouck Hurgronye, Penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengingatkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mewaspadai setiap jamaah haji yang berkunjung ke Mekkah. Alasannya, pribumi muslim nusantara yang berkunjung haji tidak sekedar menjalankan ibadah haji tetapi menjadikan Mekkah sebagai epi sentrum gerakan politik mengusir penjajah Belanda.
Wukuf di Padang Arafah, kaum muslimin yang berkumpul menjalankan ibadah haji dengan tanpa sekat-sekat nasionalisme, mestinya menjadi renungan bersama bahwasanya kaum muslimin sejatinya merupakan sebuah entitas yang tidak boleh terpolarisasikan atas nama kebangsaan, ras, dan mazhab tertentu. Sebuah logika sederhana untuk menyimpulkan keberadaan umat Islam yang sangat membutuhkan sebuah institusi politik yang menyatukan dan melindungi mereka sekaligus sebagai wahana penerapan seluruh hukum-hukum Islam secara paripurna.
Baginda Nabi SAW dan para Khulafaur Rasyidin telah mencontohkan model instutisi politik demikian dalam bentuk Negara Kesatuan Islam, yakni Daulah Khilafah Ala Minhaj Nubuwwah.
COMMENTS