kontestasi politik 2024
Oleh : Waryati (Aktivis Muslimah)
Kontestasi pemilihan presiden 2024 belum masuk agenda kampanye, namun aroma persaingan di kalangan pejabat kian nampak. Ada yang terang-terangan menyebutkan kekurangan lawan politiknya, baik dari kinerja atau pun personalnya. Tetapi ada juga yang menggunakan bahasa kiasan tuk menjatuhkan nama baik orang yang dianggap kan menjadi pesaing dalam pilpres mendatang.
Bukan sesuatu yang tabu dalam sistem demokrasi, ketika terjadi pergolakan di tubuh partai dan sesama anggota partai saling menjatuhkan satu sama lain demi membangun citra baik di mata masyarakat. Sekalipun di antara mereka telah terjalin secara erat hubungan sebagai kawan, namun tak menjadi penghalang tuk saling mengumbar aib dan melempar isu ke tengah publik. Inilah potret politik demokrasi, tak ada kawan maupun lawan sejati. Semua dilakukan demi kursi dan tahta kekuasaan.
Dalam kunjungannya, Ketua DPR yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P, Puan Maharani di Wonogiri Jawa Tengah, April lalu menyampaikan pernyatannya, dan diduga menyindir seseorang.
Melansir dari Kompas.com, (13/6/2022), "Kenapa saya ngomong ini? Kadang-kadang sekarang kita ini suka 'yo wes lah dia saja asal ganteng, dia saja yang dipilih asal bukan perempuan, yo wes dia saja asal walau enggak iso opo-opo tapi yang penting dia itu kalau di sosmed, di TV itu nyenengin, tapi kemudian nggak bisa kerja, nggak dekat rakyat," tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Trimedya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam keterangan tertulisnya, beliau mempertanyakan kinerja sesama teman politiknya, namun di saat yang sama, juga mengatakan hal-hal yang kurang baik dengan menyebut kemlinthi yang dalam bahasa jawa berarti congkak, sombong, dan angkuh.
Tak ayal, saling sikut-menyikut antara politikus ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sikap mereka mengekpos kekurangan serta mempertontonkan hujatan terhadap kawan sendiri bukan saja memberi pelajaran politik kurang baik terhadap masyarakat, namun juga justru menjadi point negatif bagi diri mereka sendiri.
Sesama teman harusnya saling mendukung dan memberi support dalam hal kebaikan. Saling memerbaiki jika ada yang kurang. Pun saling mengingatkan jika memang salah. Sayangnya, hal itu tak mungkin terjadi dalam politik demokrasi. Satu sama lain saling menjatuhkan adalah lumrah.
Lebih buruk lagi, kandidat yang dicalonkan bisa siapa saja, tanpa memerhitungkan kualitas maupun kredibilitasnya. Yang penting nama tersebut populer di masyarakat, maka layak untuk dijadikan kandidat. Maka dari itu, benar salah, baik dan buruk bukan satu hal yang menjadi syarat. Asalkan terkenal, masing-masing partai berlomba mengusung orang tersebut
Sikap saling menjatuhkan orang lain termasuk yang dilarang. Dalam Islam, mengolok-olok suatu kaum adalah perbuatan fasik dan pelakunya dikatakan zalim. Seperti termaktub dalam surah Al-Hujurat ayat 11;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim".
Untuk membangun citra baik di mata masyarakat, maka sudah sepatutnya para politisi memperlihatkan prestasi dan kinerja maksimal sebagai pelayan rakyat. Dengan demikian, tanpa saling sikut dan menjatuhkan lawan politik, kepercayaan itu bisa didapat dengan mudah. Menjadi seorang pemimpin tak hanya bermodal ketenaran serta nama besar semata, namun harus memiliki kemampuan berbagai bidang serta bijaksana nan adil.
Alhasil, jika cara-cara yang ditempuh tuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat 'baik', maka akan menghasilkan nilai baik pula pada diri orang tersebut. Namun jika, cara yang ditempuh buruk, maka sudah pasti hasilnya pun buruk. Mampu membedakan benar dan salah, maupun mampu menilai baik dan buruk adalah kewajiban bagi umat. Terlebih jika seseorang tersebut duduk di tampuk kekuasaan dan berharap mendapat kepercayaan. Agar dalam melaksanakan kepemimpinannya berjalan sesuai kaidah-kaidah hukum syara.
Wallahu a'lam bisshawwab.
COMMENTS