Solusi Kriminal Dalam Islam
Oleh: Ummu Rufaida ALB (Pegiat Literasi dan Kontributor Media)
Penembakan massal kembali terjadi di Amerika Serikat, di sebuah supermarket di Kota Buffalo, Negara Bagian New York. Pasalnya Negara yang selalu mengagung-agungkan kebebasan nyatanya tak mampu melindungi rakyatnya sendiri dari pelanggaran HAM. Seorang pemuda (18 tahun) kulit putih menembak mati 10 orang yang sedang berbelanja pada Sabtu (14/05) petang waktu setempat. Dikabarkan bahwa para korban merupakan warga kulit hitam yang bermukim di wilayah tersebut.
Penembakan ini bukanlah kali pertama terjadi, mengutip dari Okezone (20/05/2022), setidaknya ada tiga kasus penembakan di supermarket dalam satu tahun terakhir. Pada 22 Maret 2021, aksi penembakan terjadi di supermarket Boulder, Colorado. Sebanyak 10 orang tewas termasuk polisi yang tiba di lokasi kejadian. Pada 24 September 2021, aksi penembakan terjadi di supermarket Memphis, Tennessee. Dilaporkan 1 orang tewas dan 12 orang mengalami luka-luka. Pada 20 April 2021, penembakan terjadi di supermarket yang ramai di pinggiran Kota New York. Satu orang tewas dan dua orang mengalami luka-luka.
Masih banyak kasus penembakan massal di tempat publik lainnya yang terjadi di AS, termasuk beberapa bulan terakhir. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat AS sangatlah brutal dan tidak manusiawi, bahkan dengan entengnya merenggut hak hidup orang lain. Padahal Negara tersebut dikenal sebagai Negara yang menjunjung tinggi toleransi, kebebasan dan HAM, namun ternyata justru sebaliknya.
AS memang melegalkan warganya untuk memiliki senjata api sejak 1791, bahkan diketahui tidak mengharuskan pemilik mendaftarkan senjata apinya seperti di Negara lain. Bahkan Professor Kriminolog dari Universitas Alabama, Adam Lankford, menyatakan bahwa tingginya angka kepemilikan senjata di AS secara langsung berhubungan dengan masalah penembakan massal di AS.
"Ini bukan soal kesejahteraan. Bukan soal urbanisasi atau angka bunuh diri yang tinggi. Perbedaan Amerika dengan negara lain yang menjelaskan mengapa di kita banyak penembakan massal adalah tingginya angka kepemilikan senjata. Kita punya angka kepemilikan senjata hampir dua kali lebih banyak dari negara lain." Merdeka.com (25/01/2018).
Maka wajar jika hingga saat ini kasus semacam ini tidak menemukan tidak terang tapi justru kian berulang setiap tahunnya. Namun anehnya kepemilikan senjata api ini masih tetap dipertahankan, meski sudah menelan banyak korban. Dengan klaim bahwa kepemilikan senjata membuat AS lebih aman sebab bagi warga Negara yang taat hukum mampu membela diri terhadap penjahat bersenjata. Walhasil perdebatan kepemilikan senjata ini masih terus bergulir di parlemen hingga saat ini.
Sederet kasus ini menunjukkan buntunya Negara kapitalisme mencari solusi antara aksi kriminal penembakan massal dengan kebebasan kepemilikan senjata api. Ideologi yang diambil dan dijalankan oleh AS adalah sekularisme kapitalis, yang merupakan ideologi rusak dan merusak. Maka wajar jika melahirkan masyarakat yang “sakit” sebab masyarakat diikat oleh pemikiran, perasaan dan sistem yang mengatur mereka.
Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan masyarakat. Akibatnya, manusia akan berbuat sesuka hati dengan dalih kebebasan bertingkah laku. Agama tidak berhak mengatur sedikitpun, agama hanya ditempatkan diranah privat layaknya ibadah tidak lebih. Dari mindset ini lahirlah paham kapitalisme yang hanya berorientasi pada manfaat semata. Akibatnya masyarakat dengan mudahnya membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, bahkan hanya untuk berfantasi. Sementara, industri senjata tentu tidak ingin kehilangan konsumen mereka sebab bagaimanapun mereka ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Nahasnya, Negara kapitalisme tentu tidak bisa bertindak lebih jauh mengingat bahwa mereka menjadikan para korporat sebagai pemegang kekuasaan sesungguhnya.
Oleh karenanya, AS tidak layak dijadikan sebagai kiblat dunia dalam membangun masyarakat. Sebab kapitalisme justru biang kerusakan masyarakat dan Negara pun gagal memberi solusi atas problema yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Mana mungkin sebuah peradaban besar akan muncul disana, jika masyarakatnya “sakit”?
Sangat berbeda dengan sistem ideologi Islam, yang secara praktis disebut sebagai Negara khilafah. Dalam membangun sebuah masyarakat, khilafah akan bertumpu pada syariat Islam bukan pada asas kebebasan layaknya sistem kapitalisme. Sehingga unsur pembentuk masyarakat seperti pemikiran, perasaan, dan peraturan yang diterapkan atasnya akan sangat dipengaruhi oleh Islam. Oleh karenanya, jika dalam Islam menghilangkan nyawa manusia tanpa haq adalah perbuatan dosa maka seluruh komponen masyarakat dan Negara harus bekerja sama untuk saling menjaga jiwa (nyawa).
Secara praktis, masyarakat akan melakukan dakwah di tengah-tengah mereka bahwa tidak akan membiarkan satu darah pun tertetes tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Sedangkan Negara akan menerapkan sanksi qishash bagi siapapun yang melanggar aturan tersebut. Maka, tak perlu ada aturan kepemilikan senjata sebab sistem sanksi yang diterapkan akan menimbulkan efek jawabir dan zawajir.
Sebagai zawajir, tentu sanksi ini akan mencegah masyarakat berbuat kejahatan. Bagaimana tidak, hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan akan disaksikan oleh seluruh masyarakat. Tentu ini akan sangat memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi siapapun yang menyaksikan. Sebagai jawabir, bahwa sanksi yang dijatuhkan merupakan penebus dosa para pelaku di akhirat nanti. Walhasil, penembakan massal sangatlah mudah diselesaikan jika sistem yang diterapkan adalah khilafah. []
MaasyaaAllah mantap betul
ReplyDelete