kenapa tunda pemilu 2024
Sebagaimana dilansir Republika.id, Ahad, 27 Februari 2022, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang, wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan. Iapun mengkritik pihak yang mengusulkan wacana Pemilu 2024 agar ditunda. Pasalnya, mereka mengeklaim bahwa usulan tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto juga mengatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tak bisa menjadi landasan hukum untuk menunda pelaksaan pemilu.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, partai-partai yang mendukung usulan itu sudah terasa nyaman atas pembagian kekuasaan selama pemerintahan Jokowi berlangsung. Feri menyampaikan bahwa situasi itu justru yang akan merusak keberlangsungan demokrasi termasuk memberikan imbas negatif bagi partai-partai lain terutama yang di luar lingkaran koalisi pemerintahan. Wacana penundaan pemilu ini mengandung ancaman yang bersifat strategis. Aturan konstitusi dan kebijakan publik semakin renta dibajak oleh koalisi kepentingan elite.
Merespons wacana penundaan Pemilu 2024, pengamat hukum Ahmad Khozinudin mengungkap ada pihak yang diuntungkan, yaitu yang berkuasa saat ini. Ini narasi kompromistis, jika sebelumnya dengan tiga periode sehingga memunculkan pasangan Jokowi-Prabowo, partai-partai yang lain banyak yang tidak sepakat. Namun, ketika mengubah konstitusi, DPR, DPD, dan DPRD, dan semua yang berkuasa akan senang. Pertama, orang yang ingin nyapres dan nyaleg karena tidak ada Pemilu, maka tidak ada proses perebutan kekuasaan, tidak ada elektasi. Kedua, partai-partai yang saat ini elektabilitasnya naik terutama karena menjadi oposisi. Sementara, dengan keadaan Jokowi yang gagal dalam mengelola kekuasaan, bukan berdampak pada Jokowi. Karena Jokowi sudah tidak bisa nyapres lagi sehingga tidak butuh eletabilitas, nothing to lose baginya.
Di sisi lain, Jokowi masih diinginkan untuk berkuasa karena ada kepentingan kelompok di belakang presiden dan partai, yaitu oligarki. Mereka ini begitu maksimal dilayani rezim Jokowi. Berbagai kebijakan yang pro pengusaha, pro kapitalis, pro asing begitu mudah diloloskan, seperti UU Ciptaker, UU Minerba. Mereka lebih senang dilayani oleh Jokowi ketimbang ganti presiden lain yang belum tentu sama pelayanannya. Belum tentu juga mereka bisa mengendalikan calon presiden yang baru.
Inilah sejatinya wajah demokrasi, di mana yang berkuasa bukan kedaulatan rakyat, namun kepentingan partai, atau pejabat-pejabat yang tampaknya berkuasa. Partai-partai dan pejabat yang berkuasa akan berjabat erat dengan para pemilik modal, kapitalis, yang membiayai para politikus dan penguasa sampai ke tampuk kekuasaan. Setelahnya penguasa-penguasa ini menghamba kepada oligarki. Rakyat hanya dijadikan sebagai sarana agitasi untuk mengeluarkan APBN dalam bentuk program-program yang hakikatnya melayani kepentingan oligarki. Ini bukanlah isapan jempol semata, namun kenyataan pahit yang nampak jelas di depan mata.
Bukan hanya di negeri ini, tetapi sama di berbagai belahan dunia lain yang menerapkan sistem demokrasi. Dimana yang berkuasa adalah kaum kapitalis karena ini bagian ideologi kapitalisme yang menggunakan sistem politik demokrasi. Menganut sekularisme, menjauhkan agama dari kehidupan, menjauhkan agama dari negara. Inilah yang kemudian dikuasai oleh para oligarki dalam bentuk produk perundangan dan legislasi.
Inilah sejatinya wajah demokrasi, di mana yang berkuasa bukan kedaulatan rakyat, namun kepentingan partai, atau pejabat-pejabat yang tampaknya berkuasa. Partai-partai dan pejabat yang berkuasa akan berjabat erat dengan para pemilik modal, kapitalis, yang membiayai para politikus dan penguasa sampai ke tampuk kekuasaan. Setelahnya penguasa-penguasa ini menghamba kepada oligarki. Rakyat hanya dijadikan sebagai sarana agitasi untuk mengeluarkan APBN dalam bentuk program-program yang hakikatnya melayani kepentingan oligarki. Ini bukanlah isapan jempol semata, namun kenyataan pahit yang nampak jelas di depan mata.
Penundaan pemilu jelas semakin membuktikan bahwa praktik demokrasi menjadi paradoks. Demokrasi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan Negara karena selamanya tangan penguasa dan pengusaha makin erat. Paradox ini kian nyata ketika pemilu menjadi ajang eksistensi semata, bukan demi kepentingan rakyat melainkan kepentingan elit saja.
Islam, sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang memiliki aturan sempurna dan komprehensif, menjadi solusi atas kejumudan rakyat mengenai pemerintahnya. Di dalam sistem Islam, penguasa adalah pelaksana mandat amanah dari rakyat, yang berdasar kepada ketakwaannya, menjadi dorongan paling mendasar ketika memimpin Negara. Sebab dalam Islam, Negara adalah pengatur urusan rakyatnya, tanpa tebang pilih.
Hukum yang berlaku pun berdasar kepada hukum syariah yang berasa dari pencipta manusia. Ada standar baku ketika pemimpin melakukan kesalahan pelanggaran syariah, maka akan berlaku sistem sanksi yang diberikan kepada pemimpin. Selain itu, di dalam sistem Islam, kedaulatan berada di tangan syariah, bukan di tangan perwakilan rakyat. perwakilan rakyat tidak akan membuat undang-undang, karena pembuat Undang-undang, mutlak di tangan Allah berdasar Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Inilah ketika sistem Islam berjalan, maka pemilu tidak akan menjadi polemic bagi Negara dan rakyat. Dan yang pasti, tidak akan menghabiskan anggaran Negara hanya untuk kampanye ataupun pelaksanaan teknis di lapangan. Para pejabat Negara tidak akan bersaing atau berusaha mempertahankan kursi jabatan dengan intrik apapun. Karena, Islam di dalam Islam, hanya ketika pejabat melakukan pelanggaran hukum syara’ maka jabatannya akan dihentikan. Itu semua berlangsung ketika 3 pilar Negara juga berjalan, yakni ketakwaan individu, control masyarakat dan peran Negara dalam mengatur urusan umat berdasarkan syariah.
Penulis : drg. Endartini Kusumastuti (Pemerhati Kebijakan Publik Kota Kendari)
COMMENTS