harga minyak goreng meroket
Oleh: Novita (Brebes, Jawa Tengah)
Sejak akhir tahun 2021 di Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng. Di rak-rak supermarket tampak rak minyak goreng terlihat kosong. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Februari 2022 pemerintah membuat kebijakan bahwa harga minyak goreng kemasan premium yaitu Rp14.000/liter.
Namun pada faktanya dilapangan, masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng bersubsidi tersebut. Banyak masyarakat rela mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak goreng langka tersebut, bahkan telah menimbulkan korban jiwa.
Tentunya hal ini menjadi polemik ditengah masyarakat, karena minyak goreng merupakan salah satu komoditi bahan pokok.
Hal ini seolah menjadi suatu hal yang aneh,karena Indonesia memiliki lahan sawit yang luas. Tapi masyarakatnya justru mengalami kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng tersebut.
Jika merujuk data Kementerian pertanian, pada tahun 2019 total luas tanah kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Bahkan sejak tahun 2006, negara Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menurut catatan Menteri perindustrian pun pada tahun 2021 Indonesia mampu memproduksi minyak goreng sawit sebanyak 20,22 juta ton. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri hanya sekitar 5,07 juta ton saja.
Bahkan sangat ironis, di tengah produksi minyak goreng sawit terbesar namun justru mengalami kelangkaan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.
Namun, saat pemerintah mencabut HET (Harga Eceran Tertinggi) sejak tanggal 16 Maret 2022 lalu, yang tadinya Rp.14.000/liter untuk minyak goreng kemasan premium menjadi Rp.23.900,-/liter dan Rp.47.900,- per dua liter.
Saat itu juga, minyak goreng mendadak melimpah ruah di pasar tradisional termasuk di ritel-ritel modern. Masalah yang muncul kemudian adalah masyarakat makin tak menjangkau harga minyak goreng yang naiknya luar biasa.
Beginilah potret kehidupan kapitalisme, dimana pemerintah hanya menjadi jembatan atau wasit antara rakyat dan pengusaha. Tak peduli dengan kondisi rakyat yang kian terpuruk dengan beban hidup yang kian mencekik.
Padahal di dalam Islam diharamkan mematok harga, karena itu merupakan suatu kezaliman. Harga sendiri dikembalikan kepada mekanisme pasar. Penerapan sistem Islam dalam hal ini tentunya akan terus berada dalam pantauan Daulah Islam dan Daulah secara langsung mengontrol harga yang ada di pasar. Jika memang terjadi kenaikan harga maka akan dilihat faktor pemicunya. Jika terjadinya kenaikan harga karena permintaan yang banyak sementara supply nya sedikit, maka daulah akan mendatangkan komoditi barang tersebut dari daerah lain. Namun jika terjadinya kenaikan harga tersebut karena adanya penimbunan, maka daulah akan memberikan sanksi ta'zir kepada pelaku penimbunan tersebut, dan barang yang ditimbun akan dikembalikan ke pasar.
Inilah potret kehidupan jika sistem Islam yang diterapkan. Rakyat akan terlindungi, hajat hidupnya pun akan dalam terpenuhi. Berbeda dengan potret kehidupan kapitalisme saat ini, dimana mereka bebas memainkan harga tanpa adanya rasa empati kepada masyarakat. Rakyat terzalimi dengan sistem ini. Sudah saatnya kita buka mata buka telinga kita, jika kita menginginkan kehidupan yang damai, aman dan makmur sentosa, tentulah Islam solusinya. Wallaahua'lam
COMMENTS