problematika umat
Oleh Hebi
Bergulir, masalah pelik tidak henti menyerang rakyat Indonesia. Belum reda efek domino pandemi, kini muncullah kelangkaan bahan pokok seperti minyak goreng sawit dan gula pasir di pasaran. Terjadi antrian di mana-mana, situasi tidak kondusif, munculnya keramaian di situasi yang masih diselubungi pandemi dengan jenis virus baru pula, yakni omicron. Belum lagi, mulai merangkak naik harga bahan pokok lainnya di pasaran menjelang bulan ramadhan yang akan jalani oleh umat Islam awal April 2022. Ini hanya segelintir dari sekian banyak masalah ekonomi.
Disaat yang hampir bersamaan, mencuat pula pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas yang kontroversial. Yakni dalam upaya menggolkan surat edaran terbaru, yang mengatur waktu penggunaan pengeras suara masjid, Beliau membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Tak pelak lagi hal ini membuat kritik umat Islam terdengar diseluruh penjuru negeri. Semakin ramai dengan kebijakan pengambilalihan sertifikasi halal yang semula dikeluarkan oleh MUI kini berada di bawah kendali Kemenag. Logonya pun diganti dengan loga baru yang mengundang multi tafsir, karena tulisan halalnya samar dan berbentuk wayang.
Dari segelintir polemik diatas yang terjadi awal tahun 2022 ini apa yang bisa disimpulkan? Bahwa pemerintah terkesan memperhatikan hal-hal yang tidak penting. Sedangkan masalah umat yang bersifat mendesak tidak ditanggapi dengan serius sehingga tidak kunjung ditemukan titik terang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Seperti contoh, kelangkaan minyak goreng sawit yang diawali saat adanya subsidi harga minyak goreng oleh pemerintah karena minyak goreng sawit beranjak naik. Setelah adanya subsidi tersebut, mendadak timbul kelangkaan di pasaran.
Fakta mengejutkan datang dari pengakuan Kemendag bahwa terjadi kebocoran ekspor minyak goreng sawit murah ke luar negeri yang jumlahnya mencapai 415 juta liter sejak 14 Februari 2022 lalu. Dalam pemberitaan televisi, sidak-sidak pejabat terkait, menampilkan stock minyak goreng di pasaran sudah tersedia, tapi kenyataannya di pasaran masih terjadi kelangkaan. Antrian masih tetap terjadi, bahkan menimbulkan korban di Samarinda. Seorang ibu yang meninggal dunia pingsan saat mengantri minyak goreng di toko, lalu dua hari tidak sadarkan diri yang berakhir meninggal dunia.
Sungguh berat perjuangan rakyat hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok. Seolah-olah rakyat dibiarkan berjuang sendiri dan pemerintah hanya fokus pada hal yang tidak penting sama sekali bagi kesejahteraan umat. Ada apa dengan negara? Ada apa dengan pemerintah? Siapa lagi yang dapat melindungi, memperjuangkan kesejahteraan rakyat Indonesia? dimana peran negara saat para ibu- ibu berlarian sembari menggendong anaknya menuju toko sembako untuk mendapatkan antrian minyak goreng paling depan?
Inilah dampak jika negara dan pemimpin yang mengaku berislam tapi nyatanya jauh dari Islam. Mereka mengaku berislam tapi tidak menerapkan aturan Islam. Bahkan, mengaku berislam tapi alergi dengan aturan Islam. Dengan segala upaya mempertahankan aturan sekularisme dan kapitalisme yang sangat menyengsarakan rakyat. Wajar karena ada mashlahat baik materi dan jabatan di balik penerapan sekulerisme kapitalisme bagi mereka.
Keadaan hari ini akan jauh berbanding terbalik jika kita menerapkan aturan Islam di dalam bernegara, dari segala lini dan segala lapisan. Tentu rakyat tidak akan berkubang dalam penderitaan dan kekacauan seperti saat ini. Negara akan baik, rakyat akan sejahtera jika negara diurus berdasarkan syariat Islam. Bercermin dari kekuasaan Khilafah Islam berabad- abad. Khalifah saat itu sangat memperhatikan kesejahteraan umat, karena para khalifah yang memimpin, menyadari bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkannya langsung kepada Allah SWT.
Bahwa khalifah wajib menjamin segala kebutuhan umat mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Sangat berbeda dengan kepemimpinan saat ini yang sangat menikmati penerapan aturan sekularisme dan kapitalisme yang nyatanya sama selaki tidak mensejahterakan rakyat melainkan sebaliknya.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
COMMENTS