pendapat wayang haram
Sebenarnya, duh, tidak ada yang baru dari kasus tentang wayang 'haram'. Dari dulu juga sudah banyak hal2 begini. Musik haram. Celana bagi wanita haram. Nulis novel haram. Ini haram, itu haram.
Pahamilah, siapapun memang bisa meyakini apapun, dan perbedaan pendapat sah2 saja. Monggo gitu loh. Lebih2 jika dia meyakini itu perintah agamanya, masa' kita mau marah sama dia? Babi haram menurut agama Islam. Makan sapi haram menurut agama lain. Kerja hari sabtu haram. Dll, dsbnya.
Sepanjang orang yg ngomong haram ini tidak memaksakan pendapatnya, maka silahkan saja dia berpendapat apa. Apalagi jika dia bicara di forum terbatas, diantara jamaahnya sendiri. Itu teh konsumsi mereka sendiri. Repot jika orang lain malah ngamuk, tidak terima. Hanya karena video itu jadi viral, ingat loh, itu teh awalnya kajian terbatas bukan?
Maka, membingungkan sekali melihat reaksi orang2 atas soal wayang ini. Apa sih masalahnya?
Duh, Gusti, jika kamu meyakini itu baik, halal. Daripada sibuk menanggapi yg mengharamkan, mending kamu balas dengan tunjukkan jika itu bisa jadi alat dakwah, bisa jadi bermanfaat.
Sy sebagai penulis novel, entah berapa kali sy menemukan orang2 yg bilang novel itu haram, apakah sy ngamuk? Ogah. Itu mubazir. Sebagai jawaban, mending saya rilis buku seperti RINDU, JANJI, atau Hafalan Shalat Delisa, biar mereka yg mengharamkan ini baca itu novel. Gimana? Masih haram tidak?
Bukan malah dibalas dengan menyerang, mencaci, secara terbuka menunjukkan kebencian kepada yg mengharamkan. Itu teh, kamu sendiri yang rugi. Orang2 yg awalnya netral, malah jadi menjauh dari kamu. Karena perkara ini hanyalah perbedaan pendapat. Biarkan Tuhan besok2 yang memutuskan.
Beda jika itu urusan korupsi, maling, nipu, dusta, dll, dsbgnya yang merugikan orang banyak. Baiklah, untuk yg begini, kita bisa 'perang' bila perlu. Lah, ini terbalik, soal2 receh kamu kayak mau perang, soal Harun Masiku, korupsi bansos, dll, eh pada diem2 bae. Sepiii itu akun medsos kamu bahas soal korupsi? Kapan kamu mau bersuara soal janji2 tak dipenuhi? Hipokrasi?
Demikianlah.
Terakhir, ketahuilah, setiap kali hal2 begini terjadi lagi, lagi, dan lagi, maka saat itulah kita membuktikan, kita teh termasuk yang lemah lembut sama saudara sendiri atau tidak? Jangan terbalik. Kita lemah lembut sama orang lain, eh, sama saudara sendiri kita bengisnya minta ampun. Itu teh saudaraan atau tidak sih?
*Tere Liye
COMMENTS