distribusi kebutuhan pokok
Oleh : Ummu Hanif | Muslimah Pekalongan
Selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia. Panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang. Di Indonesia, beberapa barang menjadi sasaran panic buying karena dianggap sulit ditemukan hingga langka.
Menurut pakar perilaku manusia Dr.Ali Fenwick, setidaknya ada empat alasan mengapa orang cenderung panic buying :
1. Modus bertahan hidup (dalam kondisi yang tidak pasti membuat orang mengutamakan tujuan bertahan hidup)
2. Efek kelangkaan (langkanya suatu barang membuat barang itu menjadi berharga)
3. Perilaku kawanan /orang lain ( melihat perilaku orang lain yang memborong barang dalam jumlah banyak, mendorong orang untuk melakukan hal yang sama)
4. Rasa kendali ( membeli barang dalam jumlah banyak dalam situasi yang tidak pasti membuat orang punya kendali)
Seperti saat pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, kepanikan melanda masyarakat. Hingga beberapa barang menjadi rebutan dalam rangka menjaga diri dari penyebaran virus seperti masker, hand sanitizer, temulawak sampai susu beruang pernah ramai-ramai dibeli. Bahkan adanya indikasi terjadi penimbunan barang oleh sejumlah pihak.
Tidak berbeda dengan kondisi sekarang ini, giliran minyak goreng yang menjadi rebutan. Berawal dari melambungnya harga minyak goreng hingga Rp 28.000 per liter. Tentu hal ini mulai meresahkan masyarakat. Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia sebesar Rp 14.000 per liter, bisa diduga, warga sontak menyerbu retail modern dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng murah. Dalam sekejap minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter pun cepat ludes. Tentu situasi ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah. (Kompas.com, 22/1/22)
Tidak hanya kebijakan minyak goreng satu harga, pemerintah juga melakukan operasi pasar dengan skala terbatas.
Hampir semua pemerintah provinsi di Indonesia memberlakukan operasi pasar murah. Mereka bekerja sama dengan pihak swasta, terutama perusahaan atau distributor minyak goreng untuk menggelar operasi ini. Pemerintah mengklaim operasi pasar ini bisa untuk menstabilkan harga dan untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan minyak goreng yang semakin melambung harganya. Di sisi lain produsen tidak dirugikan karena selisih harga akan diganti oleh pemerintah.
Para pedagang kecil yang sudah terlebih dahulu menstok minyak goreng dengan harga tinggi tentu akan rugi jika penetapan satu harga ini terus berlanjut. Pasar tradisional diberikan waktu satu minggu untuk melakukan penyesuaian. Tetapi apakah waktu satu Minggu cukup bagi pedagang untuk menghabiskan stock mereka ketika kebijakan satu harga dan operasi pasar masif dilakukan?
Menurut anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno : "Kebijakan penetapan satu harga minyak goreng yang menimbulkan panic buying ini jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat di lapangan, justru akan menimbulkan masalah baru. Masalah yang dimaksud, misalnya adalah rentan terjadinya salah sasaran. Kelompok yang semestinya mendapatkan manfaat subsidi justru kalah oleh kelompok lain yang lebih berdaya secara ekonomi." (Kompas.com, 22/1/22)
Kalau memang pemerintah ingin mengurusi rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, harusnya tidak usah menunggu sampai bahan pokok ini sampai di titik kritis. Kritis bukan dalam hal langka keberadaannya, tapi ketidakmampuan masyarakat untuk membeli dikarenakan harga yang melambung tinggi. Kebutuhan pokok itu sifatnya konsisten dan selalu dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Seharusnya pemerintah mampu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau karena itu salah satu tugas pemerintah dalam meri'ayah masyarakatnya. Jangankan menaikkan daya beli masyarakat, pemerintah malah menggandeng pihak korporasi swasta dalam operasi pasar, kebijakan ini hanya menguntungkan korporasi bukan masyarakat. Disini terasa sekali muatan kapitalisme.
Berbeda dalam sistem Islam, dimana Islam menempatkan pasar dalam posisi yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian. Dalam Islam menjaga stabilitas harga dengan cara menghilangkan intervensi/ pematokan harga dan penimbunan barang. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Jika ada lonjakan harga, maka harus segera didatangkan barang dari daerah lain untuk menyeimbangkan harga. Dengan demikian kekhawatiran lonjakan harga dalam hal ini minyak goreng bisa diminimalisasi .
Wallahu a'lam bishowab.
COMMENTS