KDRT dalam Islam
Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Ceramah Ustazah Oki Setiana Dewi soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi sorotan karena dianggap menormalkan KDRT. Setelah mendapat banyak kecaman, Oki pun meminta maaf.
Dalam salah satu potongan isi ceramahnya yang viral, Oki berbicara soal seorang istri yang baru saja dipukul suaminya. Namun, Oki mengatakan sang istri lalu tidak menceritakan tindakan suaminya itu ketika orang tuanya berkunjung ke rumah. Ceramah Oki itu lalu dikritik masyarakat.
Salah satu kritik datang dari Komnas Perempuan. Ada tiga poin dari ceramah Oki Setiana Dewi yang disorot oleh Komnas Perempuan.
"Komnas Perempuan menyesalkan ceramah yang berisi anjuran untuk tidak menceritakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan terhadap istri yang dialami perempuan kepada orang tuanya. Dari ceramah itu, ada tiga poin, yaitu, pertama, tidak jadi masalah suami memukul istri. Kedua, istri tidak boleh menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merupakan aib rumah tangga. Dan ketiga, tidak mempercayai korban dan menilai dilebih-lebihkan," kata komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, saat dihubungi detiknews, Kamis (3/2/202).
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fukaha (ahli fikih), bahwa boleh (ja’iz) hukumnya suami memukul istrinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) dari istri kepada suami. Contoh ketidaktaatan istri, misalnya keluar rumah tanpa izin suami, tidak mau melayani suami, padahal tidak punya uzur (misal haid atau sakit), atau tidak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya. Semua fukaha sepakat suami boleh memukul istri dalam Islam, tanpa khilafiah (perbedaan pendapat).
Dalil kebolehannya adalah firman Allah Swt., yang artinya
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (TQS An-Nisaa` [4] : 34)
Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam 3 (tiga) tahapan secara tertib sebagai berikut:
Pertama, menasihati istri dengan lembut agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami adalah wajib atas istri (lihat QS Al-Baqarah [2]: 228).
Kedua, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, yakni tidak menggauli dan tidak tidur bersama istri, tetapi tidak boleh mendiamkan istri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tidak berhasil.
Ketiga, memukul istri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tidak berhasil. Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan, yang disebut Nabi saw. sebagai pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, “Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tidak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, “Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah ra.). (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 153).
Hanya saja, Islam tetap menempatkan kasih sayang terhadap sesama sebagai adap dan akhlak yang baik. Sehingga ada keistimewaan bagi para suami yang memiliki hak memukul istrinya, tapi tidak melakukannya. Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
“Orang-orang terbaik di antara kamu, tidak akan pernah memukul istrinya.” (Imam Syafi’i, Al Umm, 5/1871).
Oleh karena itu wahai kaum muslimin, jangan lah gegabah dalam mengambil kesimpulan dari viralnya berita media. Sebagai seorang muslim, tentu sudut pandang kita harus tetap sudut pandang Islam, bukan hak asasi manusia, hukum adat atau yang lainnya. Di sinilah peran penting untuk selalu mnegkaji Islam, agar mampu menimbang segala sesuatu sebagaimana timbangan Islam. Wallahualam.
COMMENTS