peran wanita dalam pemerintahan
Oleh: Melani N
Bicara persoalan wanita memang seakan tidak akan ada habisnya. Sebuah topik yang menarik dan terus hangat. Pembahasan wanita saat ini biasanya tidak lepas dari pembahasan tentang persamaan derajat atau kesetaraan gender. Pembicaraan ini juga terjadi di kalangan kaum muslimin.
Pembicaraan tentang gender ini juga terjadi di kalangan kepolisian. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika membuka The 58th International Association Of Women Police (IAWP) Training Conference di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur membahas tentang kesetaraan gender. Dalam sambutannya, Sigit menyatakan bahwa terdapat stereotip bahwa institusi Kepolisian hanya dianggap sebagai pekerjaan bagi kaum pria. Namun, Sigit menekankan saat ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah memberikan ruang kepada para Polisi Wanita (Polwan) untuk mendapatkan hak kesetaraan gender. Dalam kesempatan ini Kapolri juga menyampaikan bahwa perempuan Indonesia mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum pria untuk menduduki jabatan Jendral dalam Institusi Kepolisian.
Prihatin dengan pernyataan tersebut yang ingin menjadikan perempuan identik dengan laki laki. Sebuah angin segar bagi penggikut gender untuk mendorong para perempuan negeri ini untuk berlomba menduduki jabatan atau posisi yang sama dengan laki laki dalam instansi kepolisian, jabatan yang bukan hanya menjadi milik kaum laki laki.
Program kesetaraan gender adalah proyek penjajahan barat yang terselubung. Kapitalisme dengan sistem Demokrasinya yang berasaskan kebebasan dijadikan pengiat keseteraan gender sebagai panggung mengekspresikan keinginan mereka. Mereka menyuarakan dan berusaha memasukkan ide kesetaraan gender pada setiap kebijakan dan peraturan pemerintah. Namun di sisi lain pada kenyataannya dalam pandangan Kapitalistis, wanita dianggap sebagai mahluk komoditas yang bisa mendongkrak perekonomian. Sumbangsih wanita di sistem Kapitalisme bernilai sebuah keuntungan materi semata. Sehingga apa yang mereka propagandakan tentang sebuah kesejahteraan dan kebahagiaan serta kesetaraan antara laki-laki dan wanita hanyalah ilusi belaka.
Di sisi lain mereka juga menyasar pada syariah Islam. Mereka menganggap bahwa beberapa bagian dari syariah Islam yang bertentangan dengan ide kesetaraan mereka. Sehingga dengan berbagai upaya mereka berusaha mengaburkannya bahkan berusaha 'menghilangkannya' baik secara aturan maupun implementasi kehidupan. Sayangnya banyak kaum muslim yang justru menerima ide ini dan menyebarkan dikalangan kaum muslim itu sendiri. Itulah ide kesetaraan gender yang berusaha mereka gaungkan ke masyarakat di berbagai lini bahkan pada sektor kepolisian.
Terkait apa yang disampaikan Kapolri tentang posisi perempuan dalam instansi pemerintah maka sejatinya Islam mengatur hal tersebut. Menurut Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, wanita dibolehkan menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun pemerintahan yang tidak termasuk wilayâh Al amri/wilâyah al-hukm atau penguasa. Adapun posisi yang diperbolehkan bagi wanita antara lain sebagai kepala Baitul Mal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Ummah, qâdhi khushumât (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), qâdhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Dibolehkan juga bagi wanita menjadi kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan; rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan; dan lain-lain.
Adapun dalam posisi sebagai penguasa, wanita tidak diperbolehkan menduduki jabatan tersebut. Posisi penguasa tersebut antara lain: Khalifah (Kepala Negara Khilafah), Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Qadi qudat (Pemimpim para qâdhi/ hakim), Qâdhi Mazhâlim (Qâdhi/Hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat Khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi al-Quran dan al-Hadis).
Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah menyebutkan pendapat Abu Hanifah bahwa semua jabatan pemerintahan tidak boleh dijabat oleh wanita, namun wanita boleh menjabat sebagai hakim yang memutus perkara-perkara dia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya. Sebaliknya, dia tidak boleh menjadi hakim yang memutus perkara-perkara yang dia tidak dibolehkan menjadi saksi didalamnya.
Menurut Muhammad bin Ahmad Ismail al Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, wanita tidak dibolehkan menjabat khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan baik Muslim maupun Muslimah. Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara masyarakat. Kepala negara dalam Islam adalah juga orang yang mempunyai wewenang dan paling layak untuk menjadi imam dan khatib Jumat. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan tabiat wanita.
Larangan wanita menjadi Al hukkam atau penguasa juga sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW. Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi S.A.W. bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita (HR al-Bukhari).[10]
Islam memandang laki laki dan wanita mempunyai posisi yang sama dihadapan syariat Islam. Laki laki dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sudah ditetapkan oleh syara'. Syariat Islam telah mengatur dan memposisikan laki-laki dan wanita sesuai potensi dan fitrah yang Allah SWT tetapkan dalam penciptaan keduanya.
COMMENTS