kegagalan demokrasi
Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd
Penyerangan terhadap Ustadz atau pemuka muslim sudah beberapa kali terjadi di negeri ini. Satu kasus yang paling menghebohkan adalah ketika Syeikh Ali Jaber ditusuk pria tak dikenal pada tahun 2020, yang menyebabkan beliau harus dilarikan ke rumah sakit saat itu. Hal itu kemudian terulang beberapa kali hingga yang baru-baru ini terjadi adalah peristiwa penusukan ustadz di Batam dan perusakan mimbar masjid di Makassar, Sulawesi Selatan. Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Surahman Hidayat menyoroti kasus penyerangan terhadap tokoh agama di beberapa daerah selama satu pekan terakhir ini. Surahman menyayangkan, peristiwa penyerangan terhadap para tokoh agama yang kembali terjadi. Apalagi setelah kejadian tersebut serta merta para pelakunya dikesankan sebagai orang yang memiliki gangguan jiwa. Dikesankannya para pelaku penyerangan para ustadz atau para tokoh agama sebagai orang yang memiliki gangguan jiwa telah memancing kecurigaan tentang adanya motif tertentu di balik semua yang mereka lakukan. Apalagi, tambah Surahman, pelaku terakhir yaitu pelaku penyerangan terhadap Abu Syahid Chaniago saat mengisi kajian di masjid wilayah Batam, yang menyatakan dirinya komunis.
Peristiwa yang terulang dengan modus yang sama, kata Surahman mustahil terjadi secara kebetulan. Namun, patut diduga kuat sebagai gerakan yang terencana dan teroganisir. “Itulah yang mendorong terulangnya peristiwa penyerangan tokoh agama, karena penindakan hukum tidak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya,” tegasnya Pemerintah, imbuh Surahman, harus serius melindungi segenap warganya, khususnya para tokoh agama. Namun sangat disayangkan pemerintah seolah tidak berdaya memutus teror terhadap ulama atau tokoh agama lantaran kerap kecolongan.Negara seharusnya hadir memberikan kenyamanan dan keamanan warganya dalam menjalankan ibadah. Konstitusi memberikan mandat kepada negara untuk menjamin setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, dalam Pasal 28G (1) UUD NRI Tahun 1945 turut ditegaskan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Inilah bukti kegagalan negara membangun penghormatan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah/masjid.
Umat harusnya sadar bahwa dibawah sistem Demokrasi Sekuler, keamanan para ulama tidak pernah akan terjamin. Dalam sistem Demokrasi Sekuler ini negara memposisikan diri sebagai regulator semata. Urusan tokoh agama dianggap sebagai urusan masing-masing agama. Di sinilah nampak bahwa negara berupaya lepas tangan dari penjagaan keamanan atas diri masyarakat terutama tokoh agama. Padahal peran ulama sangat besar bagi umat, mendidik dan membina umat. Oleh karena itu, wajib bagi negara untuk melindungi muruah (kehormatan) ulama. Bila ulamanya baik, umatpun ikut baik. Sebaliknya bila ulamanya buruk, umat akan ikut buruk. Bahkan Rasulullulah SAW bersabda: "Ulama adalah pewaris para nabi.”
Dalam sejarah Islam, Daulah Khilafah (negara) memberikan jaminan penjagaan bagi aqidah umat. Negara juga memberikan kesempatan kepada individu-individu baik muslim maupun non muslim untuk menjalankan agamanya masing-masing. Negara juga memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negaranya. Begitu pula pada ulama. Selain itu negara juga memposisikan ulama dengan mulia karena keilmuannya dan kedudukannya sebagai pelita yang menerangi umat. Ulamalah yang meneruskan risalah para nabi. Menyebarkannya di tengah umat sehingga umat faham tentang Islam. Sehingga umat terjaga aqidahnya serta dapat menjalankan aturan-aturan Islam dengan pemahamannya tersebut. Oleh karena itu ulama sangat dimuliakan posisinya dan dijaga keamanannya. Penjagaan ini juga dilakukan terhadap umat secara keseluruhan.
Penjagaan itu terwujud dalam seperangkat sistem uqubat (sanksi) dalam Islam. Tegaknya sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi: yaitu sebagai zawajir (pencegah), yaitu sistem sanksi Islam apabila diterapkan akan mencegah manusia untuk melakukan tindak kejahatan dan jawabir (penebus dosa), dapat menebus sanksi diakhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur apabila seorang muslim sudah menunaikan hisabnya didunia melalui hukum yang diterapkan negara. Dalam Islam, penerapan hukum Islam memiliki beberapa tujuan, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara harta dan memelihara akal. Jaminan ini hanya akan terlaksana dalam bingkai Khilafah yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian, jiwa dan muruah ulama serta warga negara akan terjaga.
Berharap terciptanya keamanan pada sistem demokrasi sekuler yang absurd adalah utopis. Sebaliknya, keamanan hanya akan terwujud dalam sistem yang tepat dan benar yaitu sistem Khilafah Islamiyah yang mengikuti metode kenabian. Wallahu a’lam bisshowab.
COMMENTS