jual beli jabatan
Oleh : L. Nur Salamah, S.Pd (Komunitas Aktif Menulis & Kontributor Media)
Berbagai kasus korupsi, suap dan lelang jabatan, yang sedang tren dalam pekan ini adalah fenomena kejahatan yang seakan tak berkesudahan. Lantas, di manakah peranan hukum dan pengadilan?
Mengejutkan. Politik dinasti pasangan suami istri, Hasan Aminudin dan Puput Tantriana yang telah bertahta selama 18 tahun di Probolinggo, kini berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti dilansir dari laman CNN Indonesia (31/08/2021) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan suami, Hasan Aminuddin, yang merupakan anggota DPR RI Fraksi NasDem sebagai tersangka kasus dugaan korupsi jual beli jabatan kepala desa. Alexander Marwata, selaku Wakil Ketua KPK yang menangani kasus tersebut, dalam jumpa pers di kantornya menyatakan bahwa HA (Hasan Aminuddin) dan PTS (Puput Tantriana Sari) sebagai penerima.
Menanggapi kasus di atas, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra angkat bicara. Seperti yang dilansir dari laman REPUBLIKA.co.id (31/8/2021) beliau menyatakan bahwa keterlibatan orang terdekat (suami istri) sebagai pelaku utama penerima suap menunjukkan bahwa fungsi kepemimpinan yang semakin tidak jelas dan buruknya sistem birokrasi yang ada.
Permasalahan korupsi dan suap menyuap serta jual beli jabatan bukanlah yang pertama terjadi, namun, sudah berulangkali. Fenomena tersebut hanyalah satu diantara sekian banyak kasus yang terjadi di negeri ini. Seperti fenomena gunung es. Hanya sepucuk kecil yang tampak di permukaan. Yang tersembunyi dan tidak terungkap jauh lebih besar.
Wajar saja, jumlah uang yang nominalnya tidak kecil ini, menjadi sebuah candu dan membuat para pelakunya ketagihan. Mirisnya, ini dilakukan oleh para pejabat yang memiliki kewenangan.
Lantas, di mana peranan hukum dan pengadilan? Bukankah selama ini telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi? Fakta menunjukkan bahwa, kasus tersebut ternyata belum juga berhenti. Justru sebaliknya, makin menjadi.
Kejadian serupa akan terus ada dan semakin merajalela, jika aturan yang diterapkan saat ini, dipisahkan dari nilai-nilai agama (sekuler). Kemudian diperparah dengan prinsip hidup yang menganggap bahwa, kesuksesan diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Adapun mengenai ukuran kebahagiaan bagi seseorang, dinilai dari sesuatu yang bersifat jasadiah semata. Dengan demikian, orang akan berlomba-lomba, bersaing untuk menduduki jabatan tertentu demi meraih materi yang sebanyak-banyaknya walaupun harus menabrak rambu-rambu syariat.
Benar, apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang artinya, "Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti pemangsa yang memperebutkan makanannya." Maka seseorang bertanya : "Apakah sedikit jumlah kita?" "Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan." Seseorang bertanya : "Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?" Nabi Saw bersabda, "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu Dawud 3745).
Dalam pandangan Islam, jabatan itu adalah amanah. Amanah itu sangat berat, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, bagi orang yang sadar bahwa dirinya adalah makhluk Allah Swt, yang diciptakan dengan segenap aturan, sehingga sadar akan hubungannya dengan Allah Swt. Dengan demikian, ketika menjalankan tugas dan kewajibannya senantiasa terikat dengan perintah dan larangan-Nya. Selain itu, amanah yang ada dipundaknya hanya untuk melayani umat dan meraih keridaan Allah semata. Sehingga tidak akan berani untuk melakukan dosa dan kemaksiatan, termasuk korupsi ataupun perbuatan yang sejenisnya.
Bicara masalah hukum yang diterapkan dalam Islam, lahir dari yang maha benar dan maha adil, yang sudah barang tentu untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Tidak akan terjadi istilah tebang pilih ataupun istilah-istilah lain seperti tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Namun, hukuman yang diterapkan, selain sebagai penebus dosa juga sebagai efek jera. Misalnya, hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pelaku zina, dan hukum penggal bagi penista agama atau orang murtad. Namun, hukuman diberlakukan dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara'. Dan harus diterapkan oleh negara yaitu Daulah Islam.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran surah Al - Maidah ayat 38 yang artinya, "adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha perkasa Maha bijaksana."
Dengan demikian, orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita beralih kepada aturan yang bersumber dari Sang Maha Pengatur, yang tidak punya kepentingan dengan apapun dan siapapun di muka bumi ini. Aturan yang diterapkan pasti membawa kemaslahatan bagi manusia. Aturan tersebut tidak lain adalah Islam. Dengan menerapkan Islam secara totalitas dalam bingkai khilafah Islamiyyah, niscaya kejahatan kasus korupsi akan bisa diberantas hingga ke akar-akarnya.
WaAllahu'alam Bishowwab
COMMENTS