Marital Rape
Oleh : Fenti Fempirina K
Kasus dugaan kekerasan yang melibatkan ayah salah seorang influencer memancing kembali perbincangan seputar pemerkosaan dalam rumah tangga, atau yang dikenal juga dengan istilah Marital Rape. Marital Rape sendiri dibahas dalam pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP yang menjelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun.
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, marital rape itu nyata adanya dalam kehidupan rumah tangga. Hanya saja menurutnya, masyarakat belum memahami konsep marital rape. Hal ini terjadi lantaran dipengaruhi oleh budaya dan hukum pernikahan di Indonesia. Di Indonesia, suami umumnya dianggap sebagai pencari nafkah dan istri seseorang yang harus siap sedia melayani suami, termasuk dalam hubungan seksual (cnnindonesia.com, 18/06/2021).
Menurut Mariana, pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dideteksi ketika salah satu pihak (umumnya istri) merasa menderita. Hal ini diamini oleh para pegiat gender lainnya yang menyuarakan bahwa persetujuan untuk menikah tidak sama dengan mengikuti seluruh kemauan pasangan. Setiap individu, menurut mereka, memiliki otoritas atas dirinya sendiri, bukan orang lain, tidak juga pasangannya.
Memang, isu ini kerap kali dijadikan kesempatan emas untuk menyebarluaskan paham kesetaraan gender. Menurut paham tersebut, kultur masyarakat yang patriarkis selalu menempatkan perempuan pada pihak yang terdiskriminasi dan tertindas, bahkan hingga pada urusan seksualitas.
Marital Rape dalam Pandangan Islam
Sesungguhnya dalam Islam tidak dikenal konsep pemerkosaan, yang ada adalah perzinaan. Perbuatan zina secara tegas dilarang oleh agama, jika melanggar maka pelakunya akan dikenai sanksi tegas. Adapun dalam konteks kekerasan seksual, para ulama sepakat mengkategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hanya saja dalam sanksi yang diberikan, para ulama sedikit berbeda pandangan. Sebagaian ulama menyatakan bahwa pelaku pemerkosaan dijatuhi hukuman had zina disertai sanksi tambahan atas tindakan pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa pelaku hanya dikenai had zina tanpa sanksi tambahan. Adapun bagi korban, para ulama sepakat bahwa korban terbebas dari sanksi apapun, dengan dalil surat al-an’am ayat 145 “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tindakan kekerasan seksual suami atas istrinya tidak dapat dikategorikan pemerkosaan, mengingat suami dan istri sah dan halal untuk melakukan hubungan seksual. Aktivitas suami istri tentu tidak dapat dianggap perbuatan zina. Oleh karena ini, secara istilah, marital rape tidak dikenal dalam Islam bahkan tidak ada faktanya dalam kehidupan nyata.
Walaupun demikian, bukan berarti Islam membolehkan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan suami pada istrinya. Islam mengajarkan para suami agar berlaku baik pada para istrinya. Salah satunya tertuang dalam surat an-Nisa ayat 19 “… dan bergaullah dengan mereka secara baik (ma'ruf)”. Selain itu, Nabi SAW juga memberikan contoh teladan dalam bersikap baik pada para istrinya. Beliaupun bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada istrinya.”. Oleh karena itu, menolak narasi marital rape bukan berarti mengamini tindak kekerasan dalam rumah tangga. Justru kekerasan dianggap sebagai perbuatan dosa yang layak untuk dijatuhi hukuman oleh negara.
Konsep Marital Rape Berakar dari Ide Sekularisme
Konsep marital rape sesungguhnya adalah buah pemikiran feminisme yang lahir dari rahim sekularisme dan liberalisme. Paham tersebut, menegasikan peran agama dalam mengatur kehidupan dan menempatkan kebebasan diatas segalanya.
Sejak lama, ide-ide feminisme terus menerus menjadikan syariat Islam sebagai sasaran tembak. Mereka acap kali melontarkan tuduhan dan tudingan keji bahwa syariat Islam adalah akar di balik ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa kaum perempuan terutama para muslimah. Padahal, mirisnya kondisi perempuan saat ini justru disebabkan penerapan sekularisme dan kapitalisme. Kapitalisme memperdaya perempuan untuk masuk daam perangkap eksploitasi demi kepentingan materi para korporat. Islam justru datang dengan membawa solusi atas segala problem kehidupan, termasuk bagi kaum perempuan.
Dalam persoalan rumah tangga, Islam telah memberikan aturan dan batasan yang jelas bagi suami-istri dalam hal pembagian tugas, hak dan kewajiban, waris, pengasuhan, talak, rujuk dan lain sebagainya. Ketika dijalankan, kehidupan rumah tangga akan berjalan dengan baik dan mewujudkan sakinah –mawaddah dan rahmah. Pastinya inilah yang diharapkan oleh seluruh keluarga.
Pengaturan Islam berkaitan dengan rumah tangga tersebut tak akan berjalan dengan mulus tanpa peran negara di dalamnya. Negara harus mengoptimalkan fungsinya sebagai penjaga dan pengayom urusan rakyatnya dengan cara menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian, semua rakyat baik itu laki-laki maupun perempuan, akan terlindungi keamanan dan kehormatannya. Wallahu’alam
COMMENTS