ppkm covid19
Oleh: Ratna Dwi Furi (Aktivis Dakwah Muslimah)
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat level 4 Jawa Bali telah berakhir. Dari berakhirnya program tersebut, terdapat sejumlah daerah yang masih melanjutkan karantina, namun ada juga yang tidak. Hal ini ditetapkan berdasarkan kajian angka penularan daerah yang bersangkutan.
Menyoal tentang PPKM yang beberapa waktu lalu dilakukan, sebenarnya kebijakan tersebut adalah program lanjutan dari program karantina wilayah sebelumnya. Dengan kata lain, pemerintah tidak sedang menjalankan program baru. Maka, sudah seharusnya kebijakan yang bisa dikatakan sebagai 'program langganan' tersebut mendapatkan perhatian lebih dari negara, berupa kajian khusus yang dilakukan oleh para ahli keilmuan bersangkutan. Guna memberikan kesimpulan apakah karantina wilayah yang selama ini dilakukan efektif atau tidak.
Menurut Dicky Budiman, Epidemiologist Universitas Griffith, menjelaskan terdapat dua parameter yang menentukan keberhasilan dari suatu intervensi terhadap pandemi virus Corona melalui PPKM, yaitu pertumbuhan kasus dan angka reproduksi Covid 19. Sementara dari data yang ada, kedua hal ini justru menunjukkan adanya peningkatan. Dicky menghitung dua parameter tersebut dalam sepekan dan menemukan bahwa adanya pertumbuhan kasus selama sepekan PPKM yang pertama diberlakukan yaitu sebesar 45,4%. Sedangkan sebelum PPKM diberlakukan pertumbuhan kasus berada pada 38,3%. Kemudian angka reproduksi meningkat dari 1,37 menjadi 1,4.
Mirisnya, keduanya belum menunjukkan penurunan hingga dua pekan pemberlakuan PPKM darurat Jawa Bali. Hasil evaluasi PPKM darurat ini tentu saja menjadi penilaian seberapa efektif kebijakan pemerintah dalam menangani lonjakan kasus. Yaitu sudah tepatkah kebijakan pemerintah yang selama ini dilakukan, apakah berhasil menghentikan laju pandemi atau sebaliknya. Tentu telah terjawab dengan fakta.
Sejak awal pemberlakuan PPKM, banyak pihak yang meragukan kebijakan tersebut. Sebab pemerintah terlihat ugal-ugalan dalam membuat regulasi. Pemerintah tidak berpihak kepada rakyat dan malah berpihak kepada kepentingan segelintir orang. Pemerintah lebih mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi yang dikuasai para pemodal, dari pada kesehatan masyarakat di tengah hantaman covid 19 varian baru.
Hal ini terlihat jelas disaat kasus covid meningkat, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat, bahkan dengan ringan hati melibatkan aparat untuk melakukan penertiban. Namun, masyarakat yang terbatas ruang geraknya tidak mendapat jaminan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari negara. Hingga, rakyat kalang kabut mencari penghidupan sendiri, padahal kondisi begitu menghimpit.
Sedangkan, perbedaan perlakuan nampak jelas kepada ratusan WNA asal Tiongkok. Mereka mendapatkan kemudahan akses masuk ke dalam negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun hal ini sempat menjadi gelombang protes dari banyak kalangan masyarakat. Namun, para pejabat memilih berdalih jika masuknya TKA memiliki tujuan untuk mengisi pos-pos keahlian yang sedang dibutuhkan di sektor strategi nasional karena tenaga kerja lokal tidak mumpuni.
Sungguh, realita ini sangat menunjukkan ketimpangan hukum. Rakyat diperlakukan seperti anak tiri sedangkan orang asing diperlakukan seperti raja, siap untuk dilayani.
Padahal, di tengah kondisi wabah seperti saat ini rakyat sangat membutuhkan pekerjaan dan jaminan, namun pemerintah justru memberikannya kepada pihak asing. Bukan hanya itu, membiarkan WNA bebas masuk ke dalam negeri di tengah wabah adalah keputusan yang berbahaya. Karena dapat berpotensi besar menularkan virus varian baru yang memperparah keadaan.
Sungguh malang nasib rakyat yang dipimpin oleh rezim berkarakter sekuler kapitalis. Pemimpin yang diharapkan sebagai pengurus rakyat, melayani dengan sepenuh hati malah lari dari tanggung jawab dan berpihak kepada para kroni yang telah bersepakat dengannya. Inilah bukti betapa kejamnya kepemimpinan yang dibangun oleh paradigma keuntungan materi dan mencampakkan aturan Allah sang Mudabbir.
Berbeda dengan Islam dalam sistem Khilafah. Kebijakan Khalifah saat pandemi telah terbukti mampu mengatasi wabah. Bukti ini tergambar jelas dalam sejarah kekhilafahan.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar rumah." (HR Muslim). Ketika hal ini dilakukan oleh khalifah maka daerah yang tidak terjangkiti wabah bisa beraktivitas normal dan daerah yang terkena wabah cepat tertangani. Begitu pula tes massal akan massif dilakukan, agar dapat dipisahkan antara yang sakit dan sehat. Sehingga yang sehat tidak tertular dan yang sakit segera ditangani dan sembuh.
Seperti yang dilakukan Khalifah Umar Bin Khattab dalam menangani wabah Tha'un di Syam pada tahun 18 H. Khalifah Umar langsung memerintahkan lockdown daerah yang terkena wabah dan membuat posko posko-posko bantuan agar kebutuhan pokok rakyat yang terkena wabah terpenuhi. Khalifah Umar pun mendengar pendapat Amru bin ash sebagai pakar yang mendapati bahwa apa yang terjadi di Syam adalah wabah atau pandemi. Amru bin ash berkata "Wahai manusia sesungguhnya wabah ini seperti api yang menyala-nyala dan manusia berkumpul ini bahan bakarnya kayunya semakin berkumpul (manusia) maka semakin keras dan cara mematikan Api ini harus dipisah maka pencarlah ke gunung-gunung." Khalifah Umar segera menginstruksikan kepada rakyatnya di Syam dan meminta mereka untuk mengikuti kebijakan tersebut dengan maksimal.
Seorang Khalifah juga senantiasa membangun kesadaran di tengah-tengah masyarakat dalam menerapkan program yang telah diputuskan, hingga rakyat secara bersemangat tanpa adanya paksaan turut menyukseskan keputusan yang diambil oleh pemimpin mereka. Dengan demikian, negara akan terhindar dari permasalahan yang semakin pelik dan persoalan segera bisa teratasi.
Demikianlah pemimpin dalam Islam, ia mengeluarkan kebijakan berlandaskan tuntutan Alquran dan as-sunnah. Serta menempatkan perannya sebagai pelayan umat dan menyelesaikan persoalan umat untuk menjaga jiwa, harta dan akal hingga kehormatan rakyatnya. Khalifah pun bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah kepemimpinan karena dorongan keimanan kepada Allah semata.
Semua kemudahan tersebut hanya bisa tercapai dengan penerapan Islam dalam bingkai Khilafah. Sistem inilah yang harus diperjuangkan oleh umat, selain kewajiban karena perintah Allah, juga manusia di muka bumi akan mulia karenanya. Allahu a'lam bi ash showab.
COMMENTS