hijrah ke sistem Islam
Oleh : Gita Agustiana, S.Pd (Pengemban Dakwah Islam Kaffah)
Gelombang Hijrah kian menghantam umat Islam. Tidak hanya dari kalangan masyarakat umum saja, melainkan juga kalangan publik figur, seperti para artis, penjabat, tokoh nasional maupun internasional. Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi umat Islam. Itu artinya umat Islam sudah mulai kembali kepada ketaatan, kembali kepada Islam.
Sayangnya, fenomena semangat hijrah ini berhenti hanya pada perbaikan individu saja. Hijrah hanya dimaknai merubah diri mereka menjadi lebih baik. Padahal hijrah yang sebenarnya ialah ketika kita kembali kepada aturan Islam secara kaffah.
Pengaruh sekularisasi dalam kehidupan membuat umat Islam memahami bahwa Islam hanyalah sebuah agama bukan sebuah Mabda atau ideologi sehingga walau sebesar apapun gelombang Hijrah itu menghantam negeri ini, tetap tidak bisa mewujudkan perubahan yang hakiki.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan bahwa perubahan cukup dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi negara yang meningkat. Dari dulunya pertumbuhan ekonomi Indonesia menengah (middle income trap) naik dan mencapai 6 persen pada 2022 mendatang.
Pernyataan tersebut cukup menjadi gambaran bahwa dalam negara demokrasi-kapitalis perubahan cukup dilihat dari ekonomi negara. Padahal makna perubahan tidak bisa diukur dengan materi tetapi perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.
Indonesia telah berdiri sejak 76 tahun yang silam akan tetapi belum terlihat perubahan lebih baik. Contohnya dalam perhutangan negara, dimana pada Juni 2021 yang lalu hutang Indonesia sudah mencapai Rp. 6.554,56 triliun rupiah. Mirisnya hutang ini malah dibebankan kepada rakyat dengan memberikan biaya hidup yang mahal dan memalak mereka dengan kewajiban pajak. Namun disisi lain pemerintah memberikan kelonggaran terhadap penjabat negri yang korupsi. Penguasa juga terus menggenjot pembangunan infrastruktur, ironisnya rakyat harus merasakan kelaparan setiap hari, terlebih lagi di masa pandemi.
Sedangkan didalam Islam, negara wajib untu mengurusi umatnya dengan menjamin segala kebutuhan-kebutuhan warga negaranya. Baik itu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Negara juga tidak akan memberatkan warga negaranya dengan pajak kecuali dalam kondisi Baitul mall kosong dan kebutuhan mendesak. Adapun pemungutan pajak hanya diberlakukan kepada warga negara yang mampu, tidak untuk yang miskin. Terkait perhutangan didalam Islam juga dibolehkan tetapi dipastikan tidak ada riba dan dalam kondisi mendesak. Namun, kecil kemungkinannya berhutang itu dilakukan sebab sumber daya alam dikelola sendiri dan hasilnya hanya untuk kemaslahatan umat.
Dari sini nampak jelas perbedaan antara kehidupan dalam kapitalisme yang penuh kezoliman dengan kehidupan dalam daulah Islam yang penuh keberkahan sebab mampu menyelesaikan problematika umat.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam yang baru. Sebuah sistem yang berasas hanya pada aturan Islam yang bisa menjauhi segala macam kemungkaran dan mendatangkan banyak kebaikan.
Sehingga terwujudlah negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia, negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Referensi :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210804171547-532-676449/bappenas-ungkap-syarat-ri-bisa-jadi-negara-maju
COMMENTS