vonis sidang hrs
Oleh : Annisa Al Maghfirah (Relawan Media)
Meja hijau, palu diketok, bui menanti. Itulah sedikit kalimat yang menggambarkan lembaga pengadilan. Bagi siapa saja yang bersalah ia akan dipakaikan rompi ataupun baju tahanan. Sayang, semakin hari keadilan di meja pengadilan (lembaga hukum) makin memperlihatkan ketidakadilannya. Dan betapa berharap keadilan di negeri ini adalah isapan jempol belaka.
Matinya Keadilan di Pengadilan
Di lansir dari kantor berita RMOLBanten.com, Pengurus Cabang Istimewa Nahdathul Ulama (NU) Amerika Serikat, Ahkmad Sahal dalam tweetnya menyatakan vonis bersalah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan pidana penjara selama empat tahun kepada Habib Rizieq Syihab (HRS) karena data SWAB terlalu lebay (berlebihan). Janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu tidak adil, itu kata Qur'an.
Lalu anggota Komisi I DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon juga menilai vonis terhadap HRS tidak adil bila dibandingkan dengan vonis perkara pidana seperti korupsi yang divonis sama. Dan pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juga seolah dipaksakan untuk kasus HRS.. Hal ini akan membuat publik sulit mempercayai hukum di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan kasus Pinangki, jeratan hukum kepada HRS tidak membuat kerugian kepada rakyat. Tidak ada uang rakyat yang dicuri oleh HRS. Siapapun yang bernalar, tak perlu kuliah jurusan hukum untuk dapat menilai sungguh bobroknya pengadilan di sistem ini.
Hukum Sekuler Sarat Kepentingan
Hukuman terhadap HRS adalah satu dari sekian banyak kasus hukum di negeri ini yang berujung ketidakadilan yang terpampang nyata diruang pengadilan. Terlebih kepada rakyat miskin. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keadilan hukum seolah hanya milik para orang kaya dan penguasa.
Hukum semakin nyata bukan lagi menjadi suatu alat untuk mencari kebenaran dan keadilan, tapi untuk melegitimasi kebenaran atau keadilan bagi kekuasaan. Jika kita lihat permasalahan kerumunan, prokes, berita bohong dalam pandemi ini sangat banyak ketidakonsistenan di dalamnya.
Pejabat-pejabat yang bohong dan bahkan menimbulkan keonaran tetapi tidak diadili hanya berujung minta maaf. Ingat waktu korona belum sebanyak saat inu, ada beberapa pejabat yang mengatakan bahwa COVID-19 tidak masuk ke Indonesia. Tapi ternyata COVID-19 masuk ke Indonesia. Ada yang mengatakan COVID-19 dikasih nasi kucing tidak akan lagi kena COVID-19 dan sebagainya. Bukankah itu bukan berita/informasi bohong yang juga menimbulkan keonaran bahkan menjadi informasi bagi orang-orang yang kini masih tidak percaya bahwa ada korona?
Di dalam sistem sekular yang menerapkan hukum-hukum buatan manusia, termasuk di negeri ini. Rakyat kecil yang mencuri benda senilai beberapa rupiah saja bisa dijerat hukuman berat. Sebaliknya, para pejabat yang punya kuasa meski mengorupsi miliaran hingga triliunan uang rakyat, mereka bisa bebas melenggang dari jeratan hukum. Mereka yang pro rezim akan tetap aman tidak tersentuh hukum. Padahal mereka berkali-kali melakukan tindakan kriminal. Ada yang menghina Islam, menista ulama dan santri, dan sebagainya. Sebaliknya, hanya karena kesalahan kecil dari pihak yang sering kritis dan kontra terhadap rezim, mereka dijerat dengan hukuman berat. Itulah yang menimpa pula HRS.
Begitulah pengadilan di dunia. Pengadilan dunia sering menjadi alat untuk sekadar menghukum rakyat kecil. Hukumannya pun tidak akan mampu menghapus dosa-dosa para kriminal. Para penegak hukumnya acapkali bermental bobrok. Mudah disogok dan tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Pengadilan di sistem sekuler yang tidak berhukum dengan aturan Allah hanya akan menampilkan ketidakadilan. Serta syarat akan kepentingan para pemegang kekuasaan.
Berlaku Adillah
Ketidakadilan atau kezaliman adalah dosa besar. Bahkan Allah SWT telah mengharamkan kezaliman bagi Diri-Nya. Karena itu Allah pun mengharamkan kezaliman antar sesama hamba-Nya. Di dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman:
"Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu di antara kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi" (HR Muslim)."
Dalam hidup, terdapat 3 hubungan. Yakni hubungan manusia dengan pencipta (hablu minallah), hubungan manusia dengan antar sesamanya (hablu minannas) serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablu minafsi). Ketidakadilan hukum ataupun kezaliman terhadap manusia dengan yang lain tidak bisa terhapus begitu saja dengan memohon ampun kepada Allah (hablu minallah). Namun harus pula meminta maaf kepada orang yang telah dizalimi (hablu minannas). Bagi orang yang terzalimi ada pilihan bagi mereka untuk memafkan di dunia kesalahan orang zalim dengan membalasnya ataukah membalasnya di akhirat. Sehingga kita diingatkan dalam firman Allah SWT untuk berlaku adil.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (Terjemah QS. Al Maidah 5 : 8)
"Sampai berjumpa di pengadilan akhirat."
Bagi yang beriman akan sadar bahwa apa yang dilakukan di dunia kelak akan bersaksi di akhirat tentang apa yang telah diperbuatnya. Bagi orang beriman, ungkapan tersebut adalah hal yang perlu direnungi dan ditakutkan.
Keadilan hanya akan terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya bisa tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan amatlah penting. Tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman. Karena itu benarlah ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan:
"Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap" (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81)."
Wallahu a'lam bishowwab
COMMENTS