rektor panggil BEM UI
Oleh : Ummu Farzana, S. Pd., M. I. Kom. | Pemerhati Pendidikan & Pegiat Literasi
Melalui akun instagramnya, @bemui_official, BEM UI memposting poster yang bernada kritikan terhadap presiden Joko Widodo. Poster tersebut memuat foto Jokowi dengan tambahan aksesoris mahkota dan tulisan “The King of Lip Service”. Unggahan tersebut disertai caption berupa kalimat proses “Halo, UI dan Indonesia! Jokowi kerapkali mengobral janji, tetapi relitasnya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindiksikan bahwa pernyataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “Lip service” semata. Berhenti membual, rakyat sudah mual!”.
Unggahan tersebut berujung pemanggilan jajaran BEM UI oleh pihak rektorat. Sebagaimana tercantum dalam surat yang beredar, pemaggilan tersebut bermaksud meminta BEM UI untuk menyampaikan keterangan dan penjelasan atas narasi dalam poster yang diunggah. Entah bagian mana dari poster dan narasi poster tersebut yang membuat gamang pihak rektorat UI sehingga melayangkan surat panggilan tersebut. Apakah mungkin mereka gamang dengan narasi protes yang dibuat oleh mahasiswa? Mengapa gamang? Bukannya hal yang biasa mahasiswa mengekspresikan kritikannya terhadap sikap atau kabijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari yang semestinya? Bukankah itu salah satu peran mahasiswa sebagai agent of control? Apa sesungguhnya yang dikhawatirkan?
“Menimbulkan Pelanggaran Hukum”: Inilah yang Dicemaskan Rektorat UI
Bertolak pada pernyataan Kepala Biro Humas dan KIP UI, diketahui penyebab kegamangan pihak rektorat UI atas narasi dalam ungguhan poster oleh BEM UI, yaitu kekhawatiran atas pelanggaran hukum.
“Yang kita harapkan ketika menyampaikan hal tersebut tidak melanggar peraturan, tidak ada koridor hukum yang dilanggar. Tapi saat mereka posting ini, kami lihat yang mereka sampaikan lewat meme ini bisa menimbulkan pelanggaran dalam beberapa hal,” ungkap Amelia, Kabiro Humas UI. (Tribunnews.com)
Kekhawatiran yang berlebih tersebut bukan tanpa sebab. Kenyataannya keberadaan UU ITE menjadi “momok” bagi seseorang atau institusi termasuk universitas. Tak ayal civitas akademia lebih memilih “diam” atau mendukung narasi pemerintah daripada mengkritik yang akan berpotensi dinilai melanggar UU ITE dengan jeratan pasal tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Keberadaan sejumlah pasal dalam UU ITE berpotensi menjadi tools penguasa untuk membungkam kritik masyarakat termasuk kalangan akademis. Banyak kalangan yang mempersoalkan sejumlah pasal tersebut. Di antaranya yang menyoal pasal-pasal represif tersebut adalah perkumpulan mahasiswa RI di Australia. “Hasil diskusi mahasiswa Indonesia di Australia menilai, apabila dijalankan tanpa batasan yang jelas, UU ITE berpotensi digunakan untuk praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). ‘Ada indikasi UU ini ingin membungkam daya kritis masyarakat,’ kata Koordinator Indonesian Scholars Queensland Australia, Emir Chairullah.” (kompas.com, 2016).
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safene),Damar Juniarto yang mengatakan, ada sembilan pasal "karet" atau bermasalah dalam UU ITE. Menurutnya, salah satu pasal bermasalah adalah pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal tersebut dianggap berpotensi dijadikan instrumen untuk mengekang mengekang warga untuk mengkritik pemerintah. Menurutnya, pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media, sehingga sering digunakan untuk menuntut pidana warganet yang melayangkan kritik lewat dunia maya. (kompas.com, 2021).
Penerapan UU ITE ini semakin memberikan efek “ngeri” pada sejumlah kalangan--bisa jadi termasuk kalangan kampus--dengan diresmikannya virtual police yang memantau postingan media sosial. "Virtual police alert. Peringatan 1. Konten Twitter Anda yang diunggah 21 Februari 2021 pukul 15.15 WIB berpotensi pidana ujaran kebencian. Guna menghindari proses hukum lebih lanjut diimbau untuk segera melakukan koreksi pada konten media sosial setelah pesan ini Anda terima. Salam Presisi." begitu salah satu isi teguran dari virtual police alert yang dicontohkan oleh Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono yang dikutip cnnindonesia.com (2021).
Kampus Merdeka yang Tidak Merdeka
Pemanggilan BEM UI oleh pihak rektorat UI karena unggahan di akun media sosial yang berisi kritikan kepada presiden Joko Widodo dinilai berlebihan dan terkesan ada rasa takut atau khawatir yang berlebihan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sigit Riyanto juga mengungkapkan kesan demikian, “Pejabat struktural UI takut berlebihan,” (tempo.co, 2021).
Kekhawatiran yang berlebihan terhadap pelanggaran hukum yang timbul dari unggahan poster dengan narasi yang menyinggung presiden RI ini merupakan salah satu indikasi bahwa kampus tidak merdeka dalam berpikir dan berpendapat. kemerdekaan berpikir dan berpendapat warga kampus dibayangi oleh aksi virtual police alert yang bisa berujung jeratan pidana pelanggaran UU ITE.
Melihat fakta bahwa kampus cemas dengan ungkapan kritis mahasiswa atas sikap dan/atau kebijakan pemerintah, rasanya tidak koheren dengan menggebuhnya pengarusan program kampus merdeka. Program kampus merdeka nyatanya tidak memberikan implikasi pada pemberian ruang bagi mahasiswa untuk dapat merdeka berpikir dan berpendapat secara kritis atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
COMMENTS