wafatnya 1000 ahli ibadah
Selama pandemi ini tidak sedikit guru-guru kita para alim ulama, yang wafat menghadap Rabb-nya. Kesedihan semakin terasa dikala kita buka kitab-kitab adab, yang menyebutkan keterangan bahwa matinya ribuan ahli ibadah lebih ringan dari wafatnya seorang ulama.
Ungkapan demikian misalnya bisa kita temukan dalam Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali rahimahullah, pada bab pertama kitab ilmu, Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
مَوتُ ألفِ عابِدٍ قائِمِ اللَّيلِ صائِمِ النَّهارِ أهوَنُ من مَوتِ عالِمٍ بَصيرٍ بِحَلالِ الله وحَرامِهِ
Kematian seribu ahli ibadah yang rajin shalat malam dan shaum di siang hari itu lebih ringan ketimbang wafatnya seorang ulama yang mengerti halal dan haram aturan Allah. (Ihya ‘Ulumiddin, I/23).
Ungkapan semakna juga dtemukan dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih karya Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah, Miftah Dar as-Sa'adah atau bahkan Kifayah al-Akhyar dan karya turats lainnya.
Namun sebagian ahli riwayat mempermasalahkan asal-usul atsar tersebut, tapi karena ungkapan ini sudah masyhur di banyak kitab muktabar dan juga maknanya relevan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan ulama di atas ahli ibadah (lihat, HR. Abu Dawud 3641; at-Tirmidzi 2682; Ibnu Majah 223; dan Ahmad 21715), maka yang lebih urgen bagi kita, tentu mencermati kandungan atau maksud ungkapan tersebut.
Ungkapan ini dimulai dengan redaksi “kematian seribu ahli ibadah”, disini disebut bilangan seribu, tentu bukan berarti berbicara statistik bilangan murni, namun menunjukkan sesuatu yang sangat banyak, hal ini lazim dimengerti dalam bahasa Arab. Lalu disebut pula “yang rajin shalat malam dan shaum di siang hari” yakni penggambaran betapa mereka sangat giat beribadah kepada Allah siang dan malam. Ibadah disini, sebagian penulis kitab adab semisal Ibnu Jama’ah, mengkaitkannya dengan berbagai ibadah sunnah.
Di dalam Ihya’ digunakan ungkapan “lebih ringan ketimbang wafatnya seorang ulama yang mengerti”, sedangkan di dalam kitab lain digunakan redaksi “seorang ‘aqil (cerdas) yang mengerti”, maksudnya ulama tersebut memiliki kesempurnaan akal dan ketelitian berpikir mengenai “halal dan haram aturan Allah”, yakni mampu mengetahui perkara yang Allah halalkan dari sesuatu yang Allah haramkan. Seseorang untuk sampai pada taraf ini, yakni menjadi ulama yang memiliki ilmu sehingga bisa memahami syariah Allah, tentu dicapai bukan dengan waktu yang instan.
Karena itu, penulis Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin (I/156) menjelaskan, mengapa wafatnya seribu ahli ibadah lebih ringan ketimbang wafatnya seorang ulama:
Pertama, manfaat ibadah seorang ahli ibadah hanya bisa dirasakan dirinya sendiri, sedangkan seorang ulama ilmunya mampu memberikan manfaat kepada orang lain, sehingga menjadi sebab bertahannya agama Islam ini;
Kedua, ahli ibadah dalam ungkapan ini, bukanlah alim yang ahli ibadah, tetapi seorang ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu, atau seorang ahli ibadah yang melakukan ibadah hanya berdasarkan pengetahuannya sendiri dan meninggalkan aktifitas belajar;
Ketiga, bisa saja seorang ahli ibadah memiliki ilmu, tapi ilmunya hanya digunakan untuk ibadah dirinya sendiri, sedangkan seorang ‘alim dengan membangun ilmu dan petunjuknya mampu meruntuhkan makar Iblis. Wallahu a’lam.
Yan S. Prasetiadi
16 Dzulhijjah 1442 H
COMMENTS