izin tambang emas pulau sangihe
Penulis : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Kepulauan Sangihe merupakan kepulauan terluar Indonesia di bagian utara. Kepulauan ini terletak di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Mindanao (Filipina). Total terdapat 105 pulau di Sangihe dengan 26 pulaunya yang berpenghuni. Gugusan pulau yang indah ini ternyata memiliki kekayaan alam yang luar biasa, baik kekayaan bahari maupun sumber daya alam.
Kekayaan bahari di Kepulauan Sangihe memiliki daya tarik yang unik dan sangat menawan. Biota bawah laut dan terumbu karangnya menjadi core attraction pariwisata. Belum lagi kemegahan air terjun kadadima dan air terjun Ngura Lawo. Kawasan hutan lindung tropisnya juga memberikan keunikan tersendiri. Kawasan hutan lindung ini memiliki keanekaragaman hayati dan panorama alam pegunungan yang indah.
Sayangnya, segala keindahan kekayaan alam dan bahari yang menjadi potensi Kepulauan Sangihe terancam rusak. Pasalnya, pemerintah pusat telah memberikan izin kepada PT Tambang Mas Sangihe (TMS) untuk mengelola tambang emas Selama 35 tahun.
Pihak Pemerintah Kabupaten Sangihe sebenarnya sejak awal menolak izin pertambangan emas oleh PT TMS tersebut. Namun tidak bisa berbuat apa-apa sebab izin pengelolaan telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada PT TMS. Pun penolakan dari masyarakat dan aktivis lingkungan tidak digubris sama sekali. Izin pertambangan PT TMS tetap diberikan.
Anggota DPRD Sulawesi Utara, Winsulangi Salindeho, mengatakan bahwa dengan adanya izin pengelolaan tambang kepada PT TMS akan berpengaruh pada kondisi lingkungan hidup Kepulauan Sangihe. Sebab di wilayah izin pertambangan itu terdapat wilayah-wilayah yang perlu dikonservasi, yakni ada satwa-satwa yang harus dilindungi. Selain itu, terdapat sumber mata air untuk warga di kawasan Gunung Sandarumang. Terdapat pula Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Ulungpeliang yang sumber airnya dari Gunung Sandarumang. (kompas.com, 31/5/2021)
Pengelolaan Tambang Ala Kapitalisme
Izin pertambangan PT TMS yang diberikan oleh pemerintah pusat memicu protes dari berbagai pihak. Namun, pemerintah pusat tetap memuluskan jalan pengelolaan tambang PT TMS di Kepulauan Sangihe. Adanya dampak negatif pertambangan berupa kerusakan lingkungan hidup yang disampaikan oleh berbagai pihak nyatanya tak menghambat sedikitpun izin tersebut.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, mengatakan kegiatan pertambangan PT TMS didasarkan atas kontrak karya yang ditandatangani oleh pemerintah dan PT TMS pada 1997. Menurutnya, Pemprov Sulut telah menerbitkan izin lingkungan untuk PT TMS pada 15 September 2020. (kompas.com, 12/6/2021)
Begitulah pengelolaan ekonomi ala kapitalisme. Tambang emas yang semestinya masuk ranah kepemilikan umum malah diberikan izin kelola pada pihak swasta. Tentu saja pengelolaan swasta dilakukan secara eksploitasi sebab yang dicari keuntungan sebesar-besarnya. Masyarakat yang notabene berada di sekitar wilayah tambang emas sudah bisa dipastikan tak akan mendapat bagian apapun. Bahkan, kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan emas sudah tergambar di kelopak mata.
Lalu mengapa pemerintah provinsi dan pemerintah pusat justru memberikan izin pertambangan PT TMS? Janganlah hanya karena keuntungan dan kedudukan yang tidak seberapa di dunia dengan seenaknya mengabaikan kepentingan masyarakat.
Islam Mengelola Pertambangan
Islam dengan jelas mengatur pengelolaan pertambangan. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa tambang termasuk kepemilikan umum. Artinya, negara mengelola tambang dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ketiadaan Khilafah menyebabkan umat tidak merasakan manfaat dari sumber daya alam yang melimpah. Pengelolaan ala kapitalisme mengeksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan kondisi masyarakat. Dampak negatif berupa kerusakan lingkungan akibat pertambangan pun tidak diperhatikan sama sekali.
Sumber daya alam merupakan faktor penting bagi kehidupan umat. Sayangnya, saat ini sebagian besar sumber daya alam dimiliki oleh pihak swasta. Akibatnya, masyarakat terutama yang berada di sekitar wilayah pertambangan tidak dapat merasakan manfaatnya. Bahkan seringkali kondisi perekonomian masyarakat berbanding terbalik dengan melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki.
Semestinya pengelolaan tambang dikelola oleh negara. Hasilnya masuk ke dalam baitul mal dan digunakan untuk kepentingan umat.
Terbukti selama berada dalam institusi Khilafah, umat berada dalam kesejahteraan. Sebab sumber daya alam dikelola secara baik dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup di sekitarnya.
Selama tak ada Khilafah, maka sampai kapanpun sumber daya alam tetap dikuasai oleh pihak swasta. Hanya Khilafah yang mampu dengan tegas mengambil alih pengelolaan sumber daya alam dari pihak swasta.
Wallahu a'lam bish showab.
COMMENTS