Pembatalan ibadah haji 2021
Kementerian Agama RI resmi mengumumkan bahwa tahun 2021 ini tidak ada keberangkatan jamaah haji asal Indonesia. Pembatalan ini adalah tahun kedua sejak kemunculan covid -19 diakhir tahun 2019. Hal ini menurut pemerintah dilakukan guna menjaga dan melindungi WNI, baik di dalam maupun luar negeri. Penyelenggaraan keberangkatan haji tahun 2021 ini resmi dibatalkan dan Keputusan ini merupakan keputusan final setelah mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi. Hal tersebut disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers belum lama ini. Yaqut mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 perihal Pembatalan Keberangkatan Haji tersebut.
Keputusan ini juga mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 Juni 2021 kemarin di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M.
Meski pertimbangan-pertimbangan itu sudah dijabarkan, masih ada berbagai pihak yang menyebarkan isu miring soal alasan pemerintah tidak memberangkatkan haji 2021. Ada juga yang mempertanyakan dana haji 2021 setelah jamaah tak berangkat. Selain itu muncul masalah lain, yaitu bertambah panjang daftar antrian keberangkatan calon jamaah haji di Indonesia. Sampai saat ini, antrian terlama yaitu tahun 2055.
Dengan pembatalan keberangkatan 2 tahun terakhir ini, tanpa disertai kepastian muncul pertanyaan mendasar dimana tanggung jawab negara dalam memfasilitasi kewajiban agama setiap orang? Mereka memandang pemerintah memang tak serius memperjuangkan kepentingan jemaah karena alasan yang disembunyikan.
Lalu bagaimana penanganan haji yang sebenarnya dalam pandangan Islam?
BERBEDA halnya dengan sistem Islam. Negara berposisi sebagai ra’in (pengurus) sekaligus junnah (perisai) bagi umat atau rakyatnya. Fungsi ini memiliki dimensi ruhiyah, berupa keyakinan bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab.
Maka, perintah dan larangan Allah akan senantiasa menjadi patokan negara dalam pengaturan seluruh urusan rakyat. Termasuk dalam memfasilitasi dan mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhannya dan menunaikan kewajibannya.
Terlebih, dalam Islam, praktik ibadah semacam haji termasuk dalam syiar-syiar Allah yang wajib ditegakkan bukan hanya oleh individu, tapi juga oleh negara. Maka, urusan haji pun menjadi sangat politis, sehingga negara akan berhati-hati untuk memastikan penyelenggaraannya tak menemui hambatan yang berarti.
Sistem keuangan dan birokrasi negara dalam Islam pun akan mendukung, sehingga prinsip mudah, tepat, dan murah bisa terealisasi. Negara tak perlu melakukan praktik pelanggaran syariat hanya demi menutup kebutuhan penyelenggaraan ibadah haji yang katanya berbiaya sangat tinggi.
Allah Swt. berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97).
Dalam hadis Nabi saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.”
Sistem pemerintahan Islam itu indah karena menjaga betul pelaksanaan syariat Islam tiap warga negaranya. Ibadah haji sebagai bagian dari rukun Islam tentu menjadi prioritas yang akan dijaga pelaksanaannya oleh negara. Dengan kata lain, negara akan melakukan upaya maksimal untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyat. Jika pun ada hambatan terkait pemberangkatan jemaah haji, negara akan berusaha menghilangkan hambatan tersebut.
Selain urusan ibadah rakyat, sistem Islam mewajibkan pemimpin negara untuk sungguh-sungguh mengurusi hajat hidup rakyatnya (raa’in), mulai dari urusan pangan, sandang, dan papan. Negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, karena itu adalah amanah besar pemimpin yang akan dihisab oleh Allah Swt. kelak di hari kiamat.
Di dalam hadis disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Pada masa negara Khilafah Islamiah, terdapat beragam sarana dan bantuan yang disiapkan negara agar sempurna kewajiban haji warga negaranya. Tidak ada visa haji pada masa Khilafah, sehingga seluruh jamaah haji dari berbagai negeri muslim dalam wilayah pemerintahan Islam bisa keluar masuk Makkah—Madinah dengan mudah tanpa visa.
Visa hanya untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir hukman (terkait perjanjian dengan Khilafah) atau negara kafir fi’lan (yang memusuhi Khilafah secara terang-terangan).
Pada masa Khilafah Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Negara juga menyediakan logistik dan dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal. Hal teknis lainnya, negara Khilafah akan mengatur kuota jemaah haji (dan umrah) dan memprioritaskan jemaah yang memang sudah memenuhi syarat dan mampu.
Dengan pengaturan yang rapi dan bertanggung jawab oleh negara,Insya Allah ibadah haji warga negara dapat terlaksana setiap tahunnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
COMMENTS