membebaskan palestina
Oleh: Ana Mujianah, S.Sos.I
Konflik Israel-Palestina kembali memanas. Israel dan Hamas saling serang hingga korban jiwa dari rakyat sipil terus berjatuhan. Ketegangan antar dua negara tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak April 2021. Puncaknya, terjadi bentrokan di Masjid Al- Aqsa antara jemaah Palestina dan polisi Israel pada 7 Mei 2021.
Bentrokan itu dipicu karena sengketa tanah pemukiman antara warga Palestina dan Yahudi di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur. Tepat di sepuluh hari terakhir Ramadhan, umat Islam Gaza tidak bisa lagi khusyuk menjalankan ibadah dan menyambut idul fitri dengan penuh suka cita (detiknews.com, 17/5)2021).
Menanggapi konflik Israel-Palestina yang terus meningkat, respon dari berbagai negara di dunia pun beragam. Presiden AS, Joe Biden, melalui sambungan telepon kepada Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pada Sabtu, 15/5/2021, menyatakan dukungan kuat pada Israel untuk mempertahankan diri dari serangan roket Hamas. Dalam hal ini, Biden menganggap bahwa Hamas adalah sekelompok teroris. Selain didukung AS, Benyamin Netanyahu juga mengaku didukung sejumlah negara lain seperti Jerman, Belanda, dan Australia.
Sementara itu, di pihak Palestina dukungan datang dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Pada pertemuan luar biasa secara virtual oleh Komite OKI pada tingkat menteri luar negeri, Ahad, 16/5, negara-negara Islam mengecam agresi militer Israel terhadap Palestina. Pertemuan tersebut juga melahirkan berbagai resolusi di antaranya menuntut PBB bertindak tegas menghentikan konflik Israel-Palestina
Sekilas, dukungan terhadap Palestina nampak memberi harapan. Namun, jika ditelisik lebih dalam pembelaan tersebut hanyalah retorika semata. Dalam pertemuan OKI yang diketuai oleh Arab Saudi, negara-negara Arab mengecam agresi militer Israel terhadap Palestina. Akan tetapi, sungguh ironi, di sisi lain mereka justru menormalisasi hubungan dengan Israel. Di antaranya adalah Mesir, Yordania, Uni Emirat, dan Bahrain.
Adapun Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi, tampak lebih bijak dengan menawarkan langkah kunci untuk menolong Palestina yaitu menyerukan persatuan negara anggota OKI dan mengadakan negosiasi multilateral untuk mengupayakan kemerdekaan Palestina dengan solusi dua negara (detiknews.com, 16/5/2021).
Yang menjadi pertanyaan, mampukah negara-negara OKI bersatu memerdekakan Palestina sementara mereka masih tersekat dalam ikatan nasionalisme negara bangsa. Jika seruan persatuan itu sekadar untuk meminta PBB agar memerdekakan Palestina, nampaknya itu hal yang mustahil terjadi. Karena berdirinya Israel sendiri adalah hasil pengukuhan dari PBB.
Maka, dukungan sejati yang dibutuhkan Palestina adalah sebuah kekuatan yang sepadan dengan negara adidaya untuk mengembalikan tanah Palestina dan menghentikan penjajahan Israel. Kekuatan adidaya tersebut akan bisa diraih dengan persatuan hakiki seluruh negeri muslim dalam satu kepemimpinan yang berdaulat.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan yang mampu menyatukan negeri-negeri muslim adalah Khilafah. Ketika Khilafah berdaulat, maka negeri-negeri muslim termasuk Palestina akan terlindungi. Seperti itulah yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II pada masa Khilafah Turki Ustmani yang menolak dengan tegas permintaan Theodore Herzl agar memberikan sebagian wilayah Palestina untuk bangsa Yahudi. Selain itu ketika masa kekhilafahan, umat Muslim, Yahudi, dan Nasrani di Palestina bisa hidup berdampingan tanpa ada konflik.
Oleh karenanya, sudah saatnya kita menyadari bahwa Khilafah-lah institusi yang mampu melindungi kaum muslimin dan menjaga perdamaian dunia. Maka, ketika Khilafah hari ini tidak ada, menjadi kewajiban kita semua untuk mewujudkannya.
Wallahu a'lam bish shawab.
COMMENTS